Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ustaz Fathurrahman Kamal (UFK) merespons sejumlah kritikan tajam hingga tahdzir yang diarahkan kepada Ustaz Adi Hidayat (UAH) dalam forum Rapat Kerja II Majelis Tabligh PWM Jawa Timur, Kamis (22/05/2024).
Ia mewanti-wanti kepada sejumlah tokoh dan dai agar menggunakan kacamata akademik dan prinsip wasathiyah dalam memahami persoalan hukum fiqih dan tidak tendensius, sehingga tidak berdampak pada perpecahan umat.
“Jangan mengeksploitasi ayat untuk hal yang tendensius karena itu memicu perpecahan umat,” tegas Fathurrahman .
Menurutnya, mubaligh harus berpikir jernih dan memiliki keilmuan serta sanad yang jelas dalam berdakwah, sehingga dakwahnya menyejukkan dan tidak sembarangan melontarkan kritikan kepada mubaligh lain apalagi jika berdasarkan motif pribadi.
“Yang disampaikan (UAH) tidak ada masalah dalam tradisi akademik, wajar dalam khilafiah, tapi yang mengkritik membabi buta kiranya ngopinya kurang jauh saja,” imbuh Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Karena menurutnya sudah jelas, tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam dakwahnya telah tuntas menyoal berbagai persoalan umat baik persoalan hukum fiqih maupun persoalan sosial.
“Relasinya kan jelas kontribusi Muhammadiyah terhadap Islam dan kebangsaan tidak lepas dari pemikiran wasathiyah para tokoh Muhammadiyah,” imbuhnya.
Ia berharap meski ada tuduhan sesat hingga tahdzir kepada tokoh Muhammadiyah, warga harus tetap menahan diri dan menjaga ukhuwah Islamiyah, Basyariyajbdan Wathaniyah.
“Karena warga kita kan tidak terbiasa (bicara) kasar jadi harus tetap menahan diri dan fokus menjaga persatuan umat,” pungkasnya.
Diketahui, UAH masih terus mendaptkan serangan bertubi-tubi atas pernyataan nya soal hukum bermusik. Pernyataannya dianggap sesat hingga sebgaian tokoh melontarkan tuduhan tahzir kepada UAH.
Berdasarkan fatwa putusan Tarjih PP Muhammadiyah, terdapat tiga klasifikasi:
- Apabila musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan;
- Apabila musik hanya bersifat main-main atau hiburan semata tanpa dampak yang signifikan, maka hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram;
- Apabila musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik itu diperbolehkan secara kondisional, yang juga berarti bahwa pelarangan terhadapnya juga bersifat kondisional. Artinya, konteks, penyajian, dan dampak musik tersebut menjadi faktor penentu dalam menilai kebolehannya atau keharamannya. (m. roissudin)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News