Ijtihad Muhammadiyah
Illustrasi: istockphoto

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan. Yang pertama adalah koreksi arah kiblat yang konon secara heroik ditolak hingga bermuara pada pembakaran surau Kiai Dahlan. Kini, koreksi arah kiblat bahkan disertifikasi.

Itu ijtihad yang sekarang sampai kepada seolah seperti dongeng jelang tidur
tetapi substansinya telah diterima luas.

Yang terbaru dan semua kita mengalami adalah koreksi awal waktu subuh. Muhammadiyah melakukan koreksi bahwa subuh di Indonesia lebih cepat sekitar 8 menit dan diputuskan di Munas Tarjih ke-31 di Gresik, November 2020.

Sejak saat itu warga Muhammadiyah secara umum memulai subuh 8 menit setelah pemerintah.

Sebelum diputuskam di munas, beberapa komunitas Muhammadiyah di Lamongam dan Surakarta telah menerapkan awal subuh dengan kriteria ketinggian minus 18 dan minus 17 derajat, bukan minus 20 derajat.

Dua komunitas ini mempunyai ahli falak dan telah melakukan penelitian tersendiri dan diyakini kebenarannya.

Dalam mekanisme di Muhammadiyah, hal tersebut memang diizinkan, yakni pengamalan berbeda untuk komunitas terbatas.

Tetapi tidak dapat diterapkan secara nasional jika belum diputuskan dalam munas, juga tidak dapat diterapkan di lingkup provinsi jika tidak diputuskan dalam Musyawarah Tarjih Wilayah, juga tidak dapat diterapkan di tingkat daerah jika belum dibahas dan diputuskan di Musyawarah Tarjih Daerah.

Dalam memutuskan koreksi dan perubahan ini, Muhammadiyah telah melakukan kajian sejak tahun 2016 dengan melibatkan tim ahli internal maupun eksternal. Ahli eksternal yang diundang seperti Dr Dhani dan Dr Mahasena dari departemen Astronomi ITB.

Demikian pula dalam pembahasan awal bulan qamariyah, Muhammadiyah telah mengundang dan melibatkan para ahli dari luar Muhammadiyah.

Sebut saja, Dr Muji Raharto, Dr. Dhani Wijaya, Dr Mahasena Putra dari astronomi ITB. Prof Thomas Djamaluddin juga pernah diundang dan hadir di Munas Tarjih 2003 di Padang.

Dengan masukan dari para ahli baik dari dalam maupun luar persyarikatan
Muhammadiyah (tetap) menggunakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal.

Artinya, Muhammadiyah bersifat terbuka atas berbagai masukan tetapi hasil akhir tetap dirumuskan Majelis Tarjih dan Tajdid via Musyawarah Nasional.

Dengan kata lain, Muhammadiyah tidak bersifat tertutup atau pun anti kritik terhadap aneka pandangan keagamaannya. (*)

*) Prof. Agus Purwanto D.S, Guru Besar Fisika Teori ITS dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini