*) Oleh: Dr. H. Ali Trigiyatno, MAg,
Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng
Kehadiran orang Salafi di persyarikatan belakangan ini mulai terasa negatifnya. Bagaimana tidak, ibarat tamu bukannya sopan dan menyesuaikan dengan tuan rumah, tapi malah mengacak-ngacak dan mengobok-ngobok paham keagamaan yang sudah mapan dan dianut Muhammadiyah.
Salat tarawih 4-4 mulai diusik dengan harus 2-2, zakat profesi digembosi dianggap tidak ada dalilnya atau contohnya di zaman Nabi, zakat fitri pakai uang divonis tidak sah, hisab dalam penentuan awal Ramadan dihukumi bid’ah, wanita bekerja di luar rumah dinilai tidak islami, dan yang paling hangat belakangan ini adanya vonis haram mutlak untuk musik dan nyanyian dan masih banyak contoh lainnya.
Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan mengapa orang dan faham Salafi mudah masuk di kalangan warga persyarikatan:
1. Karena memang doktrin manhaj tarjih yang bersifat terbuka dan toleran. Doktrin ini di satu sisi mencerahkan, namun juga mengandung kelemahan. Celah ini jelas akan memudahkan orang luar masuk dan diterima di lingkungan Muhammadiyah.
Salafi paham betul itu, di antara ormas Islam yang ada, yang paling mudah ditembus Salafi adalah warga Muhammadiyah. Jangan mimpi Salafi bisa dengan mudah masuk dan diterima di lingkungan LDII atau NU misalnya.
2. Muhammadiyah sendiri di beberapa tempat terkadang kekurangan SDM yang kober ngurusi masjid dan musala termasuk membina kajian dan pengajian di lingkungan AUM.
Sementara Salafi punya SDM itu bahkan melimpah, sementara mereka terkadang belum punya masjid atau tempat kajian tersendiri di daerah itu. Akhirnya seperti teori suplay and demand, maka mudahlah Salafi masuk dan begitu pula mudahnya warga Muhammadiyah menerimanya.
3. Adanya kemiripan dan banyaknya persamaan ajaran juga menjadi faktor yang memudahkan Salafi masuk dan diterima di kalangan Muhammadiyah. Persamaan dimaksud misalnya dalam hal ide pemurnian akidah dan ibadah, anti TBC, penekanan pada pengamalan al-Qur`an dan as-Sunnah, juga adanya kesamaan ibadah seperti tidak qunut subuh, tidak baca ushalli, dan lain-lain.
4. Pendekatan sebagian orang Salafi yang cukup lihai dalam mendekati pimpinan atau takmir masjid. Mereka datang dengan sopan dan manis, menawarkan kajian di mana ustaz dan snack serta transport mereka yang ngurusi dan nanggung. Setelah itu mereka siap menyumbang untuk perbaikan masjid dan sarananya, akhirnya mereka mudah diterima.
5. Ada pimpinan dan juga dai-dai Muhammadiyah yang terkesan abai dalam mengisi kekosongan atau dahaga keagamaan di warga persyarikatan. Kajian jarang, pengajian sepi, tema terlalu umum, elitis dan melangit.
Sedang tema-tema praktis sehari-hari sering kurang tersentuh seperti masalah thaharah, salat, berpakaian, berumah tangga, bermuamalah dan lain lain jarang dibahas di kajian maupun pengajian di cabang dan ranting. Kekurangan ini terbaca dan dimanfaatkan oleh ustaz Salafi untuk masuk atau diundang.
6. Sebagian warga Muhammadiyah rindu sekaligus menyukai fatwa yang tegas dan hitam putih, tidak ambigu dan ‘mbulet’. Kebnayakan Ustadz Salafi bisa memenuhi selera itu. Model ini disukai sebagian jamaah yang tidak suka mikir tinggi-tinggi atau ‘ndakik-ndakik’. Mereka lebih mantab dengan jawaban ini haram, ini bid’ah, itu terlarang dan yang sejenis yang tegas dan ‘thas-thes’.
7. Intens dan massifnya kajian ustaz-ustaz salafi dakwah terutama di medsos, sehingga walaupun secara nominal jumlahnya sedikit namun terasa mendominasi kajian di medsos. Akhirnya dai-dai mereka lebih dikenal luas dan sedikit banyak warga Muhammadiyah tertarik untuk mengundang mereka.
Demikian hasil pengamatan penulis di lapangan mengapa paham salafi mudah masuk dan mendapat tempat di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah yang belakangn ini mulai memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi warga dan persyarikatan.
Ke depan perlu langkah-langkah untuk mengantisipasi dan membendung pengaruh ini, terutama dampak atau pengaruh yang merugikan atau tidak sejalan dengan manhaj tarjih Muhammadiyah. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News