Tentang Buya Syafii, Haedar Nashir Pun Pesan Kavling Tanah Makam Disamping Makamnya
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
UM Surabaya

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir buka Pameran dan Diskusi “Berdiang di Perapian Buya Syafii” mengenang dua tahun kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif, Senin (27/5/2024) malam di Kiniko Art Building, Kasihan, Bantul.

Haedar menyampaikan, kurang lebih 25 tahun dirinya membersamai Buya Syafii. Tidak hanya ketika Buya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005), dan Haedar menjadi Sekretarisnya, bahkan ketika Buya sudah tidak menjabat Haedar Nashir setia menemani Buya Syafii di Suara Muhammadiyah (SM).

Ketika Buya Syafii wafat, Haedar memendam rindu yang mendalam terhadap sosok orang tua sekaligus sahabat itu. Karena keinginan Haedar untuk senantiasa dekat dengan Buya Syafii, Haedar sampai memesan kavling tanah pemakaman Khusnul Khotimah di Kulonprogo tempat Buya dikebumikan.

“Saya juga kaget beliau (Buya Syafii) sebelum meninggal sudah pesan tanah pemakaman di Khusnul Khotimah di Kulonprogo. Oleh karena itu lalu saya setelah Buya wafat kemudian itu saya juga ikut pesan tidak ingin jauh dari Buya,” ungkap Haedar.

Di acara yang turut dihadiri oleh budayawan, perupa, dan sastrawan nasional tersebut Haedar mengenang kesederhanaan Buya Syafii. Meski tercatat sejarah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah selama tujuh tahun, namun ketika berobat atau besuk ke RS PKU Muhammadiyah, Buya tidak pernah mau diistimewakan.

“Buya adalah sosok yang sederhana dan merasa menjadi orang biasa saja. Jadi ini hal yang saya belajar betul dari beliau. Biarpun sudah menjadi Ketua Umum PP, menjadi tokoh bangsa, Buya tidak pernah merasa menjadi orang besar,” tuturnya.

“Bahkan ketika di rumah sakit Muhammadiyah, ketika mau nengok seseorang selalu mengikuti prosedur, dan tentu tidak semua satpam tahukan. Kami itu selalu dicegat di situ, ditanya macam-macam. Satpam itu tidak tahu kalau beliau itu Ketua Umum PP Muhammadiyah,” ungkap Haedar.

Almarhum Buya Syafii yang dikenal sebagai sosok pemikir progresif, tetapi selalu menempatkan posisi yang moderat. Buya tidak pernah garang ngejudge sembarangan, meskipun demikian di beberapa tulisan terkadang galak. Tapi semua itu dihadapi oleh Buya dengan cara biasa.

“Termasuk di saat ada situasi-situasi yang kritis dalam kehidupan kebangsaan, saya jadi saksi utuh ketika dialog itu tidak pernah pada titik yang ekstrem untuk menjudgement keadaan. Di situlah juga belajar tentang kearifan yang melintas batas dalam persoalan-persoalan dan menyikapinya,” ungkapnya.

Haedar memandang banyak hal dari sisi-sisi lain dari Buya Syafii yang layak dijadikan contoh. Tidak sekadar dimensi formalitas berpikir tentang progresifitas keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Tentang pemikiran Buya Syafii, Haedar menyebut tidak boleh terpenjara di dalam situ saja – tidak boleh jumud pikir.

“Tugas kita tanpa perlu mengkultuskan – sebab beliau juga tidak mau dikultuskan,” tutur Haedar Nashir.

Namun demikian Haedar Nashir mengapresiasi adanya kegiatan seperti ini tanpa perlu pengkultusan. Menjaga kedekatan dengan gagasan-gagasan Buya Syafii yang memerlukan dialog dan kesabaran terus menerus. Sebab saat ini sedang berhadapan dengan semrawutnya kehidupan keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini