*) Oleh: Dr. H. Ali Trigiyatno, MAg,
Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng
Salah satu kaidah brilian yang dibangun para juris muslim adalah, hukum bisa berubah karena adanya perbedaan waktu, tempat, kondisi, niat dan adat istiadat.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah membuat satu fasal dalam kitabnya yang terkenal I’lam al-Muqi’in sebagai berikut:
فصل في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد (إعلام الموقعين (3/ 3)
Fasal mengenai perubahan dan pergeseran fatwa mengingat adanya perubahan zaman, tempat, kondisi, niat dan adat istiadat.
Dalam redaksi yang sedikit berbeda dari di atas dinyatakan dengan ungkapan:
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الزمان” والمكان والأعراف والأحوال. )الوجيز في أصول الفقه الإسلامي (2/ 10)
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, ‘urf dan keadaan.
Salah satu faktor yang diperhatikan dalam penetapan hukum dalam fikih adalah memperhatikan ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat.
Makanya dalam kitab-kitab ushul fiqh pembahasan ‘urf menjadi pembahasan tersendiri yang diurai cukup luas dan dalam.
Dalam muamalah, penggunaan ‘urf kiranya relatif sudah diterima dan banyak diamalkan. Memperhatikan ‘urf dengan bahasa lain fikih itu perlu memperhatikan faktor ‘kedisinian’.
Memperhatikan kondisi (ahwal) bisa dibahasakan lain sebagai memperhatikan fakor ‘kekinian’.
Jika muamalah tidak atau kurang memperhatikan kekinian dan kedisinian maka bisa dipastikan akan menghasilkan fikih yang kaku, wagu[ Wagu dalam bahasa Jawa berarti aneh/janggal/musykil.], aneh, dan bisa jadi malah dijauhi manusia.