Berkenalan dengan ‘Urf

Secara etimologi kata ‘urf berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi ‘urf berarti sesuatu yang tidak
asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adad istiadat).[ Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Dimasyq : Dar al-Fikr, 1986), hlm. 828.]

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua:

a. Al-‘urf al-Shahih. Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.

b. Al-‘urf al-fasid. Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-‘urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.[ Ibid., hlm. 830.]

Fatwa yang dihasilkan majelis tarjih tentu saja memperhatikan aspek kekinian dan sekaligus kedisinian terutama di bidang muamalah. Karena memperhatikan faktor ini maka fatwa tarjih cenderung lebih luwes dan mudah diterima tanpa menimbulkan keanehan, kekagetan atau kegemparan di tengah-tengah masyarakat.

Fatwa yang memperhatikan faktor kekinian misalnya mengesahkan akad nikah via telepon/video call karena memperhatikan perkembangan teknologi dan semakin luasnya penggunaan teknologi tersebut di tengah masyarakat. Bolehnya wanita menjadi pemimpin mengingat wanita sekarang sudah terdidik dan terpelajar sama seperti kaum laki-laki.

Membolehkan jual beli pupuk kandang untuk pertanian karena hajat masyarakat untuk menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman dan lain-lain.

Sedang fatwa majelis tarjih yang memperhatikan aspek kedisinian misalnya boleh membayar zakat fitri dengan beras atau uang mengingat masyarakat di sini lebih membutuhkan beras daripada kurma.

Dibolehkan pakai uang karena orang miskin sekarang lebih butuh pegang uang dibanding beras. Boleh menyelenggarakan halal bihalal sebagai tradisi yang baik, tidak masalah dengan mencantumkan nama suami di belakang istri.

Boleh menyemir rambut dengan warna hitam karena umumnya di sini warna rambut adalah hitam asal tidak digunakan untuk maksud jahat semisal menipu dan lain-lain. [Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama 4, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003), hlm. 246-250.]

Dalam kebiasaan sehari-hari pun Muhammadiyah berpegang pada aspek kedisinian. Cara berpakaian lebih sering pakai batik yang produk asli lokal.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini