Masjid kedua yang kami kunjungi adalah Masjid Kyoto. Kami melawat ke masjid ini dengan berjalan kaki dari Universitas Kyoto. Hanya sekitar 10 menit, kami sampai di Lokasi masjid. Dari luar tidak tampak fasad luar arsitekturnya sebagaimana umumnya masjid. Kecuali, sebuah papan informasi nama masjid yang menunjukkan identitasnya sebagai masjid.
Masjid yang dikelola oleh Kyoto Muslim Associations (KMA) sejak 1998 hingga saat ini, berada di bawah tanah. Posisinya yang berada di bawah tanah dikarenakan memang merupakan sebuah basement dari sebuah bangunan. Inilah yang menyebabkan fasad arsitektur luarnya tidak seperti masjid. Cukup berbeda dengan Masjid Kobe yang dari jauh sudah terlihat menara kembarnya.
Letaknya yang berada di basement, rentan dengan kelembaban. Untuk menjaga agar tidak lembab, sebuah pengumuman di tempel di tempat wudu. Isi pengumumannya adalah meminta kepada jamaah agar setelah berwudu membersihkan kaki sampai kering. Sebelum menuruni anak tangga menuju basement, ada sebuah toko yang menjual berbagai makanan halal.
Di Kyoto University, sebelum kami ke Masjid Kyoto, kami terlibat dalam pembicaraan yang hangat dengan para profesor dari Center for Southeast Asian Studies, sebuah pusat penelitian tentang Asia Tenggara yang berada di bawah Kyoto University.
Mereka sangat antusias mendengar kiprah Muhammadiyah dengan amal usaha pendidikan yang meliputi ratusan perguruan tinggi, ribuan sekolah, dan kontribusi Muhammadiyah dalam moderasi beragama di Indonesia.
Salah satu nama yang tersebut dalam pembicaraan kami adalah Mitsuo Nakamura, profesor antropologi dari Universitas Chiba, Jepang, yang meneliti Muhammadiyah secara intens dalam.
Buku karya Mitsuo Nakamura berjudul Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010 menjadi rujukan yang berpengaruh dalam khazanah keilmuan.
Masjid ketiga yang kami kunjungi adalah Masjid Istiqlal Osaka. Dari namanya, sudah terlihat jelas bahwa masjid ini memiliki relasi kuat dengan diaspora Indonesia yang berada di Jepang.
Kami datang di hari Jumat, lima belas menit sebelum salat Jumat dimulai. Di bagian bawah masjid terdapat sebuah toko yang menjual berbagai makanan halal dan kebutuhan sehari-hari. Beberapa menu makanan bercorak Indonesia.
Sepatu dan sandal jamaah ditata dengan sangat rapi. Kemudian jamaah naik ke lantai tiga melalui anak tangga. Sebelum azan, takmir masjid meminta jamaah untuk berdiri dan saling merapat.
Selanjutnya setelah rapat, diminta duduk kembali. Ini dilakukan mengingat tingginya antusiasme umat Islam yang hendak menunaikan salat Jumat. Takmir masjid juga mengumumkan agar jamaah yang membawa sepeda untuk tertib memarkir di sebuah gedung yang telah disewa oleh masjid.