*)Oleh: Dr. Sholikhul Huda
Tulisan ini saya mulai dengan menyajikan Mars Sang Surya, lagu ‘kebangsaan’ Muhammadiyah.
Sang surya telah bersinar
syahadat dua melingkar
warna yang hijau berseri
membuatku rela hati
Ya Allah Tuhan Rabbiku
Muhammad junjunganku
Al-Islam agamaku
Muhammadiyah gerakanku
Di ufuk timur fajar gemerlapan
mengusik kabut hitam
mengugah kaum Muslimin
tinggalkan peraduan
Lihatlah matahari telah tinggi
di ufuk timur sana, seruan Ilahi Rabbi
sami’an wa atha’na.
Mars ini selalu dikumandangkan dalam kegiatan resmi Muhammadiyah. Salah satu tujuannnya adalah menjadi bagian internalisasi ideologi Muhammadiyah.
Maka, menyanyikan Sang Surya adalah bagian syiar dakwah. Juga untuk memupuk kecintaan serta membangun ketaatan, kepatuhan, dan kedisiplinan organisasi.
Dengan itu diharapkan terbangun komitmen ideologis dan loyalitas—baik warga dan pimpinan Muhammadiyah—dalam menyukseskan agenda dakwah dan program perjuangan di masyarakat.
Menarik mencermati satu kalimat dalam bait terakhir Sang Surya: sami’na wa atha’na. Artinya: saya mendengarkan dan taat. Dalam kalimat tersebut terkandung komitmen ideologis. Yakni disiplin organisasi dan ketaatan kepada pimpinan Muhammadiyah secara rasional dan bertanggung jawab.
Maksud mendengarkan adalah seluruh warga dan pimpinan memerhatikan serta menjalankan semua agenda dan program persyarikatan yang sudah disepakati secara musyawarah dengan penuh amanah dan tanggung jawab.
Sementara makna taat artinya warga dan pimpinan berkomitmen secara ideologis serta patuh terhadap semua program dan agenda persyarikatan Muhammadiyah yang sudah diputuskan melalui musyawarah oleh pimpinan Muhammadiyah.
Tapi benarkah kalimat sami’na wa atha’na ini masih dipegang teguh dalam tradisi bermuhammadiyah?
Menurut pengamatan saya, kalimat itu telah memudar di kalangan warga dan pimpinan persyarikatan di berbagai level kepemimpinan. Bahkan ada yang mengatakan sudah terjadi “pembangkangan” organisasi.
Beberapa warga dan pimpinan Muhammadiyah di beberapa level—daerah, cabang, ranting—misalnya menolak, menentang, dan tidak mengindahkan beberapa surat edaran (SE) yang sudah dikeluarkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tentang tuntunan ibadah maupun persoalan sosial-kebudayaan (tardisi Muhammadiyah).
Pembangkangan tersebut dilakukan dengan berbagai alasan. Bahkan ada yang karena lebih mengikuti “maklumat” dari organisasi di luar Muhammadiyah. Padahal mereka adalah pimpinan Muhammadiyah atau pengurus masjid Muhammadiyah.
Erosi Loyalitas
Fenomena penolakan, apatisme, atau pembangkangan pimpinan dan warga di atas dapat disebut sebagai erosi loyalitas. Yaitu sebuah ketidaktaatan dan kepatuhan terhadap kebijakan atau keputusan organisasi.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa penyebab terjadi erosi loyalitas itu? Menurut hemat saya, fenomena ini terjadi disebabkan dua faktor.
Pertama, masifnya arus informasi melalui media sosial (medsos) yang mudah diserap sehingga masuk secara bebas menembus batas ruang privat pimpinan dan warga Muhammadiyah.
Informasi tersebut terkait apa saja. Misalnya soal sosial-keagamaan (keislaman) yang berasal dari beragam sumber—termasuk dari kelompok keagamaan selain Muhammadiyah.
Dampaknya mereka memiliki banyak alternatif sumber informasi sosial keagamaan dari berbagai aliran dan kelompok keagamaan. Seperti HTI, Salafi, FPI, dan sebagainya.
Situasi ini menjadikan ideologi dan sikap keagamaan Muhammadiyah tidak lagi jadi arus utama. Dan ini berdampak terhadap sikap berorganisasi yang tidak sami’na wa atha’na terhadap keputusan organisasi. Tentu faktor pertama ini perlu penelitian lebih lanjut.
Infiltrasi Ideologi Lain
Faktor kedua adalah adanya upaya infiltrasi ideologi lain ke Muhammadiyah.
Infiltrasi ideologi adalah suatu upaya penyusupan sebuah paham pemikiran keagamaan, politik, sosial, budaya yang dibawa oleh seseorang atau kelompok kepada seseorang atau kelompok lain.
Tujuannya: menghancurkan kekuatan paham atau pemikiran lawan dengan tanpa disadarinya. Dampaknya, terjadi pelemahan dan pergeseran, yang muaranya adalah pada pergantian ideologi.
Dalam konteks ini yang dimaksud “ideologi lain”—seperti terbaca dari berbagai riset yang dilakukan oleh akademisi—adalah Salafi, FPI, dan HTI. Secara ideologis, kelompok tersebut sangat berbeda dengan paham Muhammadiyah. Demikian juga manhaj dakwahnya.
Paham keagamaan mereka cenderung tekstualis, tertutup (eksklusif), cenderung formalistik, dan sebagainya. Sementara paham keagamaan Muhammadiyah bercorak ijtihadi, terbuka (inklusif), dan moderat.
Dari infiltrasi ideologi tersebut, lahirlah warna-warni warga Muhammadiyah. Yaitu Mursal (Muhammadiyah Salafi), Mufi (Muhammadiyah FPI), dan Muhti (Muhammadiyah HTI).
Adanya warna-warni warga Muhammadiyah seperti itu sangat terasa menggangu konsolidasi paham keagamaan dan keorganisasian Muhammadiyah.
Selain itu berdampak pula terhadap terjadinya pelemahan ideologi Muhammadiyah yang kemudian berlanjut terhadap demilitansi, pembangkangan, dan ketidakpatuhan terhadap kebijakan atau keputusan yang dibuat atau dikeluarkan pimpinan Muhammadiyah.
Melihat fenomena tersebut diharapkan semua pimpinan dan warga Muhammadiyah kembali meraptakan dan meluruskan “shaf” ideologi dan organisasi sesuai manhaj Muhammadiyah. (*)
*) Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur & Sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News
Amal ibadah warga Muhammadiyah terbina aqidah dan ideologinya melalui pengajian mingguan yang diselenggarakan di tingkat Ranting, yang dibimbing oleh Ustadz dari kalangan Muhammadiyah. Infiltrasi faham lain biasanya muncul melalui channel lain medsos youtube yang lebih keras dan keluar dari kebijakan pimpinan Muhammadiyah.