Ketika Alquran di hadapan kita sebagai orang mukmin, maka kita memperlakukan diri kita seperti gelas kosong yang siap diisi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Apa pun isinya, karena seorang mukmin sangat yakin Allah akan mengisi gelas (hati) yang kosong tersebut dengan curahan air kebaikan.
Seorang muslim wajib selalu haus akan ilmu. Seseorang belum dikatakan berilmu apabila sesuatu yang ia pelajari belum memberi manfaat, layaknya bibit yang tak tumbuh, tak berbunga dan tak berbuah.
Jika kita berada di lingkungan baru, kita harus beradaptasi dan terbuka dengan ilmu serta saran yang diberikan.
Sebaliknya, jika gelas tersebut sudah penuh kita akan merasa paling pintar dan berpengalaman sehingga menutup diri untuk belajar.
Akibatnya orang lain akan menganggap diri kita menjadi seorang yang sombong dan apatis serta berakhir menjadi orang yang merugi.
Wa lā talbisul haqqa bil bāthili wa taktumul haqqa wa antum ta‘lamūna.
Artinya: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Karena sesungguhnya kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika hatinya mampu menerima segala yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Hal itu sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.”
Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur : 51-52). (*)
*) Ferry Is Mirza DM, Aktivis Muhammadiyah dan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim