*)Oleh: Bukhori At-Tunisi,
Alumni Pondok Pesantren Ar-Roudlotul Ilmiyah, Kertosono, Nganjuk, Jatim
A. Rukhsah Teologis
Selama ini, rukhsah hanya berlaku dalam bidang fiqih saja, tidak dalam bidang teologi, tauhid, atau pun tasawuf. Kemudahan dalam beragama, bahwa al-din yusr (الدين يسر), Agama tidak menyulitkan, prinsip ‘adam al-haraj wa al-‘usr (عدم الحرج و العسر), beragama jauh dari hal-hal yang memberatkan, juga prinsip al-masyaqqah tajlib al-taysir (المشقة تجلب التيسير), hanya berlaku di dunia fiqih.
Padahal di dalam al-Qur’an, misalnya pada Surah al-Nahl: 106, menjelaskan bahwa dalam berteologi atau bertauhid, berlaku juga prinsip tazsir atau takhfif (التيسير او التخفيف). Firman Allah tersebut adalah:
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Orang yang kufur setelah iman, kecuali orang yang dipaksa [kufur] sedang hatinya tetap dalam keimanan. Namun bagi orang yang jelas-jelas keyakinannya kufur, maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, dan memperoleh siksaan yang sangat besar.”
Menurut ayat di atas, dalam keadaan karahah (terpaksa), mengaku kafir pun ditolelir (ibahah) oleh agama. Padahal keyakinan (aqidah) adalah hal pokok dalam agama, karena ia bagian dari Ushulul Khamsah dlaruriyah (Panca Sila dlaruriyah, lima kebutuhan pokok: hifzh al-din, hifzh al-‘aql, hifzh nafs, hifzh mal, hifzh nasl) yang tidak boleh diingkari oleh seorang pun dan tidak boleh dihilangkan.
Pada ayat tersebut, hamba diperbolehkan oleh Allah untuk menyatakan inkar, yang sifatnya verbatim, dengan syarat ada perbedaan antara realitas qalby dan i’tiqady yang tetap bertauhid kepada Allah dengan fi’linya. Peristiwa ini sebagai dalil adanya tahfif, adanya rukhshah dalam bertauhid, jika dalam keadaan dlarurat.
Kalau berkaitan dengan yang non-ushuluddin, yang bersifat syar’iyyah hajjiyah (sekunder), semua dapat diterima tentang adanya eksepsi keringanan dalam penerapan hukum.
Pada kasus Ibrahim muda, ada semacam proses metaformosis, reformulasi, adaptasi, kamulflase pengakuan teologis sisi ketauhidan: qalby (قلبي), qauly (قولي), fi’ly (فعلي);
Dalam kasus teologi Nabi Ibrahim muda saat mencari Tuhannya, ada yang berpendapat, bahwa Ibrahim pernah terjatuh kepada politeisme, karena menganggap bintang, bulan, dan matahari yang dipersepsi sebagai tuhan (rabb: “r” kecil). pada QS. Al-An’am: 76-78 menceritakan:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
(Ketika malam mulai gelap, dia (Ibrahim) melihat bintang, (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang terbenam, dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Kemudian, ketika dia melihat bulan muncul, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan terbenam, dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.” Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit.” dia berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”)