Dalam sejarah, Ibrahim diasingkan ke gua oleh bapaknya untuk menghindari kejaran para tentara Namrud agar selamat dan bisa hidup. [mungkin] saat dewasa, Ibrahim muda sudah mulai berfikir kritis, penalaran asketis-teologisnya tumbuh, Ibrahim berusaha sekuat tenaga dan fikirannya, mencari tuhan yang melindunginya, memelihara, memberi rezeki, menyelamatkan nyawanya, dan seterusnya.
Dalam rihlah (pengembaraannya) dia menemukan sesuatu yang “lebih”, men-Atas-i segala yang ada, besarnya “melebihi” apa yang dapat dilihat, dirasa, dan difikirkan. Yang bersifat “Adi”, “Meta”, tak ada yang menandingi, dst. Pada akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Esa, Pencipta langit dan bumi.
Peristiwa Ibrahim mencari Tuhan ini, mirip dengan kisah Hayy ibn Yaqzhan yang ditulis oleh Ibn Thufail, filosof Andalusia, hidup di pulau terpencil sendirian, cuma ditemani bianatang di pulau tersebut, namun dengan penalarannya, mampu menemukan Tuhan.
Dalam urusan teologis, sebenarnya sangat simpel dan sederhana. Dalam hadits yang sangat popular di kalangaan masyarakatt, Nabi menyatakan, “Seseorang yang akhir hayatnya menyatakan, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah,” masuk surga.”
من كان اخر كلامه لا اله الا الله دخل الجنة
Mengaca pada peristiwa Rekonkuistadores 1492 di Spanyol (Andalusia) saat kekhalifahan Ummayah ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan Kristen bagian Utara Spanyol, yang memaksa para muslim Spanyol untuk pindah agama (murtad) dari Islam ke Kristen dengan berbagai macam intimidasi dan penyiksaan yang maha berat, patut untuk dipraktikkan konsep rukhsah teologis.
Dan saat peristiwa Rekonkuistadores, banyak muslim mempaktikkan itu, sayang, kelamin mereka tidak bisa menutupi keislaman mereka, karena penguasa Kristen “merogoh” kelamin mereka untuk memastikan Islam atau bukan mereka itu.
Begitu mudah berteologi dan bersufistik dalam Islam. Tidak njelimet dan berputar-putar, apalagi memusingkan kepala untuk merapalkan ribuan bahan jutaan “jimat” (aji dan keramat) agar menjadi orang “suci” dan “keramat”. Memang bagi ilmuwan Islam: ahli fiqih, ahli teologi, ahli tafsir, dst., harus mengetahui banyak detail ilmu-ilmu keislaman, jangan hanya permukaannya saja, namun harus mendalam (‘amiq), luas kaya laut (bahr al-‘ilm), sangat menguasai ilmunya (‘allamah), dst., sehingga kealimannya tidak meragukan dan memiliki otoritas keilmuan yang diakui oleh para ahli ilmu.
Di kalangan kaum tasawuf, para sufi memberi ijazah santrinya untuk merapal doa, dzikir, atau merapal kalimat thayyibat dengan jumlah ribuan yang “memberatkan”. Dalam Youtube, Gus Kausar Ploso mengatakan, “Untuk mendapatkan Neng Jazil, saya membaca 4.444 kali Shalawat Nariyah.” Bagi orang biasa, amaliah tersebut tentu sangat berat, namun bagi yang sering melakukan suluk, (perilaku, amaliah kesufian, jalan menuju sufi), itu hal yang biasa dilakukan.