UM Surabaya

Rasulullah pernah ditanya sahabatnya, “Apa yang dapat membuatku masuk Surga?” Nabi menjawab, “Shalatlah tepat waktunya!” jawaban Nabi sederhana, cukup shalat tepat waktu. Persyaratannya tidak membebani, dan tidak menyulitkan. Tidak menjawab dengan seolah-olah Surga menjadi dominasi person, kelompok, dan golongan tertentu.

Dalam hadits diceritakan, ada tiga orang yang merasa paling suci karena perilaku religinya, namun Nabi menolak perilaku tersebut, malah Nabi menyatakan, “Saya orang yang paling takwa di antara kalian, tapi aku menikah, berbuka, dan tidur malam.”

Orang tidak harus menjadi pertapa agar menjadi shalih, orang tidak harus puasa wishal (terus-menerus) tanpa berbuka untuk menjadi muttaqin; orang tidak harus menjadi “bujang” terus-menerus untuk menjadi orang baik. Ternyata alami saja, menurut fithrah basyariyah (makhluk biologis dan insaniyah (makhluk spiritual).

Dalam Islam, manusia baru dibebani “kewajiban” (taklif) saat sudah mukallaf (dewasa). Saat belum mukallaf, belum dikenai hukum taklif. Orang bisa disebut mukallaf, jika telah memenuhi syarat, yaitu:

  1. Baligh (dewasa, sudah cukup umur).

Anak-anak yang belum dewasa/baligh, tidak dikenakan kewajiban taklifi, karena ia belum mampu secara fisik.

  1. Mampu berpikir (aqil).

Orang yang mampu berpikir sehat saja yang dikenakan hukum taklif. Orang yang tidak sehat akalnya, tidak dikenakan hukum taklif. Karena itu orang gila tidak dikenai hukum taklifi, karena tidak memiliki kemampuan berfikir rasional. Orang lupa juga tidak dikenai hukum taklifi, karena tidak ingat kewajibannya. —ingat! Bukan pura-pura lupa, atau sengaja lupa–, begitu juga orang yang tertidur, tidak dikenai hukum taklifi.

  1. Muslim.

Non muslim tidak dibebani taklif, misalnya shalat, karena Shalat hanya dibebankan kepada orang Islam. Namun dalam hukum social dan negara, posisinya sama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini