UM Surabaya

Manusia yang sudah siap menerima taklif (beban syar’i, beban kewajiban), yang belum siap, belum dibebani. Anak-anak yang belum mukallaf, meskipun memiliki kecerdasan yang luar biasa, tidak disebut sebagai mukallaf, karena belum sampai umurnya, dia hanya disebut sebagai mumayyiz, anak yang memiliki keistimewaan, karena sudah mampu berfikir logis, mampu membedakan (mumayyiz) yang benar-saah, baik-buruk, science-knowledge, dst. Jika sudah mukallaf namun ada udzur yang menyebabkan perintah Allah tidak mampu dilaksanakan, ada keringanan dari Allah, hingga mampu melaksakan perintah tersebut menurut kadar yang ditentukan Allah.

لا يكلف نفسا الله الا وسعها

(Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya)

وان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة

(Jika ada kesulitan, maka diberi kesempatan hingga memperoleh kemudahan)

B. Takhfif Fiqhi

Istilah takhfif (تخفيف) dipergunakan untuk memperkenalkan isltilah lain dari istilah yang sudah popular di dalam fiqih maupun Ushul Fiqih yaitu rukhshah (رخصة). Istilah lain yang bisa digunakan adalah taisir (تيسير). Ketiga-tiganya digunakan, namun berbeda dalam tingkat popularitasnya, walau menunjuk pada esensi yang sama.

Istilah takhfif (تخفيف) misalnya, diambil dari firman Allah QS. Al-Nisa’: 28:

يريد الله ان يخفف عنكم و خلق الإنسان ضعيفا

(Allah menghendak keringanan atas kamu, dan menciptakan manusia dalam keadaan lemah). (Qs. Al-Nisa’: )

يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر

(Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesulitan). (QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam satu hadis, Nabi bersabda:

يسروا ولاتعسروا

“Permudah!, dan jangan mempersulit!” (HR. Bukhari)

Mengapa ada keringanan buat manusia? Bagaimanapun kuasa dan perkasa fisiknya, manusia tidak mungkin terbebas sama sekali dari kelemahan dan sakit secara fisik. Fir’aun yang hidup sezaman Nabi Musa, memiliki kekuasan politik tak terbatas, bahkan mengaku sebagai tuhan, meninggal oleh air, barang yang dianggap lemah dan tak berharga[?], “tuhan” mati tenggelam di laut, terseduk air.

Manusia secerdas apapun dan sealim apapun, pasti ada yang belum diketahuinya, terkadang lupa dan melakukan kesalahan, walaupun tidak disengaja. Setingkat Nabi yang maksum, pernah lupa jumlah rakaat yang dilaksanakan. Nabi juga pernah shalat shubuh kesiangan bersama sahabatnya karena tertidur. Namun lupa dan ketertidurannya Nabi, menjadi hukum syar’i.

Umar ibn Khattab, sahabat Nabi yang sangat dekat dengan Rasulullah, pernah tidak tahu apa itu arti “Abba” [dalam QS. ‘Abasa: 31]. Ibn Abbas yang dikenal sebagai faqih dan Mufassir, pernah mengatakan baru faham makna “fathara” saat ada orang Arab badui yang bertengkar karena memperebutkan sumur dengan tetangganya, dengan menyebut, “Ana fathartuhu”. (Aku yang pertama kali membuat [sumur]).

Rasulullah Saw. Pernah bersabda: “Manusia itu tempatnya salah dan lupa.” Namun hal itu bukan untuk menjustifikasi kesalahan dan untuk selalu berbuat salah, ataupun selalu lupa apa yang tersimpan dalam ingatan.

Manusia tempatnya lupa tidak berarti dia tidak punya daya ingat. Orang yang hafal al-Qur’an, manakala tidak menjaga hafalannya, misal jarang murajaah (membaca berulang-ulang), bisa banyak lupa hafalannya. Diantara ulama terdahulu, kita mengenal umpanya Imam Syafi’i, yang cepat hafal dari apa yang beliau dengar. Al-kisah, Imam Syafii kecil, dari Palestina pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu, telinganya ditutupi, karena takut apa yang diucapkan orang saat diperjalanan dihafalkan semua. Imam Syafii juga pernah mengadu kepada gurunya, Imam Waki’, karena sulit menghafal. Kata Imam Waki’, “Tinggalkan perbuatan maksiat!”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini