Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah:
وَمَنۡ أَحۡسَنُ دِينٗا مِّمَّنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبۡرَٰهِيمَ خَلِيلٗا ١٢٥
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS. an-Nisa’/4: 125).
Ayat ini sebagai penegasan sifat dan bentuk keagamaan yang disebutkan dalam ayat 123-124 sebelumnya:
لَّيۡسَ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا ١٢٣ وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا ١٢٤
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”
“Dlomir Kum” dalam kata “Amaniy“(angan-angan) ada yang mengartikan dengan kaum muslimin dan ada pula yang mengartikan kaum musyrikin.
Maksudnya, surga di akhirat itu bukanlah menuruti angan-angan kalian, wahai kaum muslimin dan kaum musyrikin. Tetapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Menurut sabab nuzulnya: Karena ada tiga kelompok agama: Yahudi, Nasrani dan Islam yang sedang berdebat tentang keagamaannya masing-masing dengan mengklaim agamanya yang paling benar, dan dialah yang paling berhak masuk surga.
Kemudian untuk menjawab itu semua, diturunkannya ayat ini. Sehingga klaim-klaim itu semua tidak benar.
Ada karakter yang Allah sebutkan dalam ayat 125 surat an-Nisa’ di atas, sebagai tolok ukur seseorang beragama dengan lebih baik:
Pertama, penyerahan diri kepada Allah (أسلم وجهه لله). Kata wajah yang digunakan, karena dari wajah itulah nampak tanda penyerahan. Sedangkan kata “aslama” yang diartikan dengan penyerahan, berarti:
a. Menerima hukum Allah itu secara totalitas, tidak setengah-setengah. Sama dengan firman Allah di surat Al-Baqarah 208:
يا ايها الذين أمنوا أدخلوا فى السلم كافة
b. Menyerah dengan bulat, tanpa ragu-ragu, akan kebenaran agama Allah itu. Karena Alquran mengatakan, ada orang masuk agama itu dengan ragu:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٖۖ فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ ١١
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan.); Maka jika ia memperoleh kebajikan (keberuntungan), tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana (kerugian), berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS al-Hajj: 11).”
Kedua, pelaku kebajikan (وهو محسن). Yakni, beragama tidak cukup dengan keimanan dalam hati, tetapi harus dibuktikan dengan mengamalkan ajaran agama itu.
Karena pada hakikatnya agama itu adalah sebuah tuntunan atau panduan hidup, seperti disebutkan dalam ayat ke 30 surat ar-Rum/30:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Fitrah Allah, maksudnya ciptaan Allah. Agama disebut fitrah. Fitrah bisa berarti suci, dan bisa tabiat. Maka, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid.
Kalau kemudian ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, dan itu lantaran pengaruh lingkungan.
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidak ada seorang anak pun melainkan dilahirkan dalam fitrah, lalu kedua ibu bapaknya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi. (HR Bukhari).
Dalam sebuah atsar dikatakan:
لَيْسَ الإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلاَ بِالتَّحَلِّي، وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْب وَصَدَّقَهُ الْعَمَلُ ( رواه ابوداود )
“Pernyataan dari al-Hasan; Iman itu bukanlah dengan angan-angan dan tidak pula dengan hiasan (simbolik), tetapi iman itu suatu keyakinan yang mantap dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” (HR. Abu Daud).
Ukuran baik, yaitu; (1) sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya; 2) Ikhlas semata-mata ingin mencari rida Allah.
Ketiga, mengikuti agama Ibrahim yang lurus (واتبع ملة ابراهيم حنيفا). Nabi Ibrahim dinyatakan sebagai pembawa agama dengan kesempurnaan, karena :
a. Menyelesaikan ujian dengan sempurna (QS. al-Baqarah/2:124).
وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan sempurna.”
b.Beragama dengan lurus (hanif). (QS. Ali Imran/3: 95).
قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٥
“Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.”
Para ahli tafsir mengartikan fitrah itu dengan sifat asli atau sifat dasar (أول الخلق ابتداء ).
Agama Islam itu sifat dasar, dibuat oleh Allah lurus, bersih, tidak bengkok. Jika dikemudian, dalam beragama itu ada hal-hal yang tidak beres, maka itu karena ulah manusia.
Karena itu, dalam ayat dikatakan: لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم = “Tidak ada pergantian barang sedikit pun bagi ciptaan Allah, dan itulah agama yang lurus”.
Karena itu, kefitrahan agama ini jangan dirusak oleh pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku manusia.
Kesimpulan:
Seseorang dapat dinilai beragama dengan baik bilamana memiliki karakter;
1. Menerima Islam secara utuh
2. Mengamalkan syariat Islam secara keseluruhan
3. Beramal dengan ikhlas
4. Bersih dari kesyirikan
5. Berperilaku baik dalam seluruh aspek kehidupan. (*)
*) Afifun Nidlom, S.Ag., M.Pd, Wakil Sekretaris Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur.