Memilih Masuk Surga dengan Cara Muhammadiyah Atau NU
Nurbani Yusuf
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Muhammadiyah menganut prinsip pahala terputus (kecuali tiga), sedang NU menganut pahala tidak terputus.

Muhammadiyah menganut prinsip bahwa setiap orang mendapatkan pahala amal hanya dari apa yang diusahakannya sendiri, sedang NU menganut prinsip bahwa pahala amal bisa didapat dari usaha sendiri ditambah dengan kerja kolektif dan tanggung renteng sesama mukmin.

***

Dua prinsip ini sangat klasik dan riuh diperdebatkan hingga hari ini dan mungkin entah sampai kapan.

Ini memang soal klasik dan keduanya jelas saling membantah. Bagi Muhammadiyah, nilai amal hanya dihitung dari hasil kerja individual bukan kolektif. Jadi jangan harap ada kiriman doa dan pahala dari keluarga dekat, tetangga sebelah rumah atau temen seperjuangan setelah meninggal kelak. Karena semua sudah terputus.

Bagi santri Muhammadiyah, prinsip “barang siapa mengerjakan amal kebajikan maka untuk dirinya sendiri dan seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain’ dipegang kukuh. inilah salah satu prinsip puritanisme di samping taawwun: kerja keras, kompetitif, hemat, suka membantu dan suka memberi.

Belum ada kajian khusus apakah puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memiliki kemiripan dengan Protestan Ethics yang digagas Webber, satu sikap puritan yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme di Eropa, pertengahan pertama abad 20 kala itu.

Maka pertanyaan mengemuka: benarkah cara beragama Muhammadiyah sangat indvidualistik? Bahkan cenderung egois sebab apa pun amal yang dilakukan cenderung berpulang pada dirinya sendiri. Sekencang apa pun pahala dikirim tidak bakalan sampai demikian keyakinan tertanam.

***

Jargon berlomba-lomba berbuat bajik (fastabiqul khairat) dimaknai sebagai ikhtiar personal untuk mendapat banyak maslahat, pun dengan prinsip sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya (khairun nas anfa’ahum lin-nas) juga kurang lebih sama.

Yaitu perbuatan perbuatan individual yang diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip prinsip puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memang melahirkan ghirah, semangat kompetitif, egaliter dan menghapus kelas agama.

Karena itu puritanisme juga menghapus hierarki kepatuhan, status sosial dan keistimewaan nashab, sebab semua orang dilihat setara. Kedudukan seseorang dilihat dari ketakwaan sebagai representasi prestasi tertinggi, bukan atas dasar nashab atau keturunan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini