Perdebatan tahunan soal penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha menurut tidak seharusnya terjadi.
Selain menguras energi umat untuk hal yang tidak produktif, perdebatan itu bukanlah permasalahan pokok di dalam agama yang final (ushuliyah), sebab lahir pada perbedaan interpretasi ayat (tafsir) yang sifatnya terbuka (ijtihadiyah).
Meski demikian, perdebatan itu menggambarkan suatu realitas bahwa umat Islam masih bermasalah secara ontologis dan epistemologis.
Utamanya dalam melihat hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, (Iptek) dan agama.
Secara ontologis dan epistemologis belum selesai, termasuk sebagian pihak di kalangan umat yang memisahkan itu.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi Muhammadiyah, tidak ada pertentangan (ta’arudh) antara Iptek dan agama.
Muhammadiyah memiliki pemahaman bahwa pengamalan suatu ibadah akan semakin sempurna dengan dilibatkannya Iptek.
Pada penentuan awal Ramadan misalnya, Muhammadiyah memahami makna syahida minkumus syahra fal yashumhu pada Al-Baqarah 185 dan hadis shumu li rukyati dan seterusna (berpuasalah ketika melihat hilal) tidak berdiri sendiri.
Melainkan bertaut dengan illat (causa) pada hadis lain yang bunyinya: “Inna ummatun ummiyyatun, la naktubu wa la nahsubu. Al-Syahru hakadza wa hakadza wa asyara biyadihi.”
Artinya: “Kita adalah umat yang ummi: tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya).”
Hadis inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Muhammadiyah berpendapat bahwa rukyat bukanlah sunah yang harus diikuti, melainkan metode yang bisa uzur seiring dengan perkembangan teknologi.
Hal yang sama, kata dia juga terjadi pada penentuan arah kiblat dan lima waktu ibadah salat wajib.
Jika dahulu kaum muslimin menentukan berdasarkan melihat pada bayangan, maka saat ini cara tersebut sudah tidak berlaku lagi karena umat telah menguasai ilmu membaca kompas/koordinat, ilmu hisab, serta ilmu falak sehingga dapat menentukan secara akurat jauh-jauh hari.
Dari sinilah sebenarnya Muhammadiyah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melihat langsung karena pada waktu itu Nabi Saw dan sahabat belum menguasai ilmu hisab, belum memiliki ilmu falak sehingga melihat bulan dengan observasi langsung dengan mata telanjang karena tidak punya teropong dan tidak punya ilmu. (*)
(Disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti dalam Hari Bermuhammadiyah di UMJ, 10 Mei 2023)