*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana
Dua ibadah mulus yang tidak selayaknya hilang dari hati seorang Mukmin adalah syukur dan istighfar.
قـال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه اللَّه – :
* فالشُّكر يوجِبُ المزيد من النِّعم .
* والإستغفار يدفَعُ النِّقم .
مجموع الفتاوى (28/48)
“Syukur berkonsekuensi menambah nikmat dan istighfar akan menahan siksa.” (Majmu’ fatawa 28/48)
Manusia sering kali mengabaikan syukur. Ia merasa segala yang telah didapatkan adalah hasil kerja keras atau jerih payahnya sendiri.
Ia menganggap keberhasilan dan kesuksesan yang diraihnya karena kecerdasan otak dan kekuatan fisiknya semata.
Ia lupa bahwa ada yang membantu, memberi jalan, dan memuluskan langkahnya dalam meraih itu semua.
Siapa sesungguhnya yang melunakkan hati orang lain hingga mau bekerja sama, sehingga ia berhasil meraih sesuatu yang diinginkan? Sejatinya adalah Allah Azza wa Jalla.
Maka sudah selayaknya manusia bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas semua itu. Syukur adalah bentuk dari rasa terima kasih kepada-Nya atas semua yang telah Dia lapangkan dan mudahkan untuknya. Syukur adalah pengakuan kerendahan hati bahwa apa pun yang ia raih bukanlah karena faktor diri mereka sendiri.
Di situ ada Allah Azza wa Jalla yang membantu dan menggerakkan serta membuka jalan untuk meraih apa yang ia harap kan, impikan dan cita-citakan.
Dengan syukur, ia akan menyadari, sejatinya mereka bukanlah apa-apa tanpa campur tangan atau keterlibatan Allah Azza wa Jalla.
Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah Azza wa Jalla pada dirinya. Dengan melalui lisan berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat.
Dengan melalui hati berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla. Dengan melalui anggota badan berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.