Jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023.
Demikian data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) sejak Januari sampai dengan Februari 2024
Banyaknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan perlu menjadi keprihatinan semua pihak, baik peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, maupun warga satuan pendidikan.
Sebab satuan pendidikan merupakan tempat kedua bagi anak dalam menghabiskan waktunya. Karena itu, satuan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak.
Untuk mencegah dan menangani kekerasan pada anak di lingkungan satuan pendidikan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Samsul Arifin memberikan tipsnya.
Pertama, edukasi pendidikan seks di lingkungan sekolah. Edukasi pendidikan seks menjadi faktor pertama, yang tidak hanya diberikan kepada siswa, tetapi juga guru dan staf pengajar, sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memahami kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual itu tidak hanya persoalan yang berkaitan dengan kelamin. Pendidikan seksual yang dimaksud setidaknya mencakup aspek biologis, psikologis, dan sosial serta harus mencakup pengetahuan tentang batas-batas tubuh, persetujuan, dan hubungan yang sehat,” ujar Ari, Jumat (5/7/24)
Kedua, sambung dia, kebijakan dan prosedur harus jelas. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang di dalamnya mengatur tentang definisi kekerasan seksual, mengatur tentang cara penanganan kasus kekerasan seksual, serta mengatur tentang batasan hubungan antara pelajar dan pengajar (dosen dan mahasiswa).
Ketiga, adanya badan khusus yang menangani. Dalam konteks kampus, semua kampus sudah diwajibkan untuk memiliki Satuan Tugas (Satgas) yang khusus untuk menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Sehingga ketika terjadi kekerasan seksual, saksi ataupun korban tahu harus melapor,” katanya.
Keempat dukungan psikologis. Disadari atau tidak, orang-orang yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual (khususnya korban) cenderung menutup diri, karena hal itu dianggap tabu, dan merasa malu jika ketahuan menjadi korban.
“Sehingga dukungan psikologis menjadi begitu penting. Hal ini bisa dibentuk dengan bimbingan konseling, yang menerima semua keluh kesah peserta didik,” ujar Syamsul.
Terakhir, pentingnya kesadaran orang tua. Orang tua juga harus sadar, tidak boleh lepas tanggung jawab, tidak boleh sepenuhnya percaya terhadap guru, orang tua juga harus terlibat aktif dalam mendidik anak-anaknya.
“Hal ini menjadi penting karena dalam banyak kasus kekerasan seksual di sekolah, melibatkan guru dan siswi. Mengapa hal ini terjadi, karena orang tua sudah terlanjur percaya terhadap gurunya, sehingga guru memiliki dominasi lebih terhadap para muridnya,” tandasnya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News