Namun bagi seorang Muslim, ini semua sepadan karena harapan utamanya adalah kehidupan setelah kematian.
Jadi bukan karena mereka kekurangan seolah-olah Tuhan menghukum mereka atau jahat kepada mereka, padahal mereka adalah hamba Tuhan yang baik, setia, dan baik.
Orang-orang membuat pilihan dan Tuhan memberi mereka apa yang pada akhirnya akan paling bermanfaat, yaitu kebaikan di akhirat.
Sukar dipungkiri bahwa hal-hal duniawi sebenarnya dapat mengalihkan seseorang dari mencintai akhirat dan Allah.
Tak jarang seseorang menjadi terikat pada hal-hal dunia ini. Semakin banyak yang dimiliki, maka semakin banyak yang diinginkan.
Semakin banyak yang dibutuhkan, maka semakin banyak kebutuhan untuk melindungi aset yang dipunyai.
Saat membayangkan seseorang yang hidup sekadar mencari sesuap nasi, kita boleh jadi menduga ini adalah profil ideal, setiap Muslim harus menginginkan hidup seperti ini.
Gambaran hidup seperti ini tak perlu repot-repot memikirkan aset untuk dilindungi. Tapi ada yang juga sinis bahwa orang-orang ini belum memiliki keamanan. Mereka mungkin khawatir tentang apa yang akan dimakan esok.
Tetapi banyak yang telah mencapai tahap tawakkal (pasrah dan percaya) kepada Allah sehingga mereka tidak khawatir. Mereka yakin bahwa makan, minum atau rezeki berikutnya akan disediakan Tuhan.
Seorang Muslim percaya “wallâhu khairur râziqîn” (Allahlah sebaik-baik pemberi rezeki). Muslim memiliki kepercayaan bahwa Tuhan akan menyediakan rezeki bagi mereka.
Singkatnya, tidak ada rumus yang mengatakan jika seseorang tidak religius maka dia akan sukses secara duniawi. Atau sebaliknya jika seseorang religius maka dia tidak akan sukses secara duniawi.