Pernyataan mengejutkan disampaikan Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo saat menanggapi turunnya angka kelahiran di Indonesia, kurun tahun terakhir.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran di Indonesia cenderung turun pada periode tiga tahun terakhir diakibatkan angka pernikahan juga menurun. Total Fertility Rate di secara nasional berada pada angka 2,1.
Menurut Hasto, hal ini perlu ditindaklanjuti dengan mewajibkan satu keluarga memiliki 1 anak perempuan.
Pakar Perempuan dan Anak Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya) Sri Lestari menanggapi polemik tersebut.
“Sebagai representasi pemerintah yang mengawal masalah Keluarga Berencana, pernyataan kepala BKKBN ini dapat dinilai tidak responsif gender. Pernyataannya berimplikasi pada menambah daftar panjang kebijakan negara yang selama ini mengontrol tubuh perempuan dan menganggap perempuanlah yang harus bertanggung jawab penuh pada peran-peran reproduksi,” katanya.
Menurut Sri, mulai dari kebijakan mengenai KB yang masih jauh dari ideal, di mana perempuan masih menjadi satu-satunya sasaran utama dalam mengontrol angka kelahiran, kini ditambah dengan pernyataan yang seolah-olah menganggap perempuan sebagai menjadi mesin produksi anak,” ujar dia.
Dia lelau menjelaskan, fenomena menurunnya angka kelahiran memang menjadi problem di hampir 2/3 negara di dunia. Indonesia salah satunya namun rasionya masih tergolong normal.
“Kebijakan negara-negara yang mengalami tingkat kelahiran yang bahkan lebih rendah menitik beratkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak,” tegas dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UM Surabaya. .
“Seharusnya, negara menganalisis bagaimana akar masalah demografi yang semakin menurun adalah akses kesejahteraan perempuan. Selama ini, perempuan dibebani dengan kerja-kerja pengasuhan yang dalam budaya kita masih dianggap lumrah. Kesenjangan gender inilah yang menyebabkan banyak negara Asia, seperti Jepang, Korea termasuk Indonesia, mengalami penurunan angka kelahiran,” imbuh Sri.
Dia menambahkan, negara perlu mendorong kebijakan untuk melibatkan suami atau ayah berperan dalam pengasuhan, subsidi yang lebih besar bagi keluarga dengan anak-anak termasuk memberikan akses penitipan anak yang layak dan gratis bagi perempuan bekerja.
“Tentunya kebijakan ini perlu diimbangi dengan membangun kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender dan mendorong kebijakan yang responsif gender. Termasuk pula mendidik para pemangku kebijakan agar berhati-hati berkomentar dan lebih peka pada aspek ini,” tandas Sri. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News