Broker atau istilah di dalam fikih muamalat adalah as-simsar, memiliki arti sebagai penghubung perdagangan (perantara antara orang yang ingin menjual barang dengan orang yang ingin membeli barang atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli).
Sedangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), merupakan salah satu jenis pelayanan kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah yang menginginkan pinjaman khusus untuk memenuhi kebutuhan dalam pembangunan rumah.
Sebelum membahas hukum KPR dalam Bank Syariah, lebih dulu penting diutarakan beberapa prinsip dalam Etika Bisnis yang dimuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid 3 halaman 16, yaitu al-Amanah (kepercayaan), ash-Shidq (kejujuran), al-āAdalah (kebenaran), al-lbahah (kebolehan), at-Taāawun (tolong-menolong), al-Maslahah (Jalbul-Masalih wa Darāul-Mafasid: menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), at-Taradi (saling kerelaan/kata sepakat), al-Akhlaq al-Karimah (kesopanan).
Broker selain sebagai suatu pekerjaan juga merupakan upaya untuk tolong-menolong atau at-Taāawun (QS. Al Maidah: 2). Seseorang yang bekerja sebagai broker, yang mengarahkan para calon pembeli menggunakan bank BSl/Syariah, menurut hemat Majelis Tarjih termasuk kepada kegiatan yang sifatnya bisnis.
Dalam pada itu Bank BSl/Syariah menyediakan produk yang di dalamnya terdapat unsur KPR, yaitu bisnis dan pembiayaan. Bentuk jasa yang menjadi tugas seorang broker seperti sistem dalam pembelian rumah dengan KPR merupakan salah satu jenis pelayanan kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah yang menginginkan pinjaman khusus untuk memenuhi kebutuhan dalam pembangunan atau renovasi rumah.
Sistem KPR yang ada di Bank BSI/Syariah tidak menggunakan sistem bunga, akan tetapi menggunakan akad tanpa bunga. Adapun macam-macam akad di antaranya yaitu, akad jual beli yang biasa disebut dengan baiā al-murabahah, adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.
Baiā al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab Al-Umm, Imam Asy-Syafiāi menamai transaksi jenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.
Ada pun syarat baiā al-murabahah di antaranya, penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah, kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, kontrak harus bebas dari riba, penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian, penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Baāi al-murabahah dalam KPR yang ada di Bank BSI/Syariah, Bank BSI/Syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Harga jualnya yaitu dengan harga beli dari pengembang (perusahaan yang menyediakan perumahan), dengan ditambah margin keuntungan yang disepakati dua belah pihak antara penjual dan pembeli yang disepakati dengan jangka pembayarannya.
Pembayarannya dapat dilakukan secara kontan pada waktu yang telah disepakati atau dilakukan angsuran (baāi bi tsamanin ajil).
Selanjutnya, dapat juga menggunakan akad jual beli dengan pesanan khusus yang disebut dengan istishnaā, yakni merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak.
Nasabah mengajukan KPR dengan menggunakan akad istishnaā ketika nasabah hendak membeli rumah dengan cara memesan. Dalam hal ini belum banyak bank yang menggunakan akad istisnaā ini.
Dalam KPR di Bank BSI/Syariah terdapat juga akad sewa beli yang disebut dengan ijarah muntahiyah bit-tamlik, yaitu sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa dengan pengalihan hak kepemilikannya.
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk al-ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik karena lebih sederhana dari Sisi pembukuan.
Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya. KPR menggunakan akad ijarah muntahiyah bit-tamlik ini juga masih jarang digunakan.
Selain itu, juga terdapat akad penyertaan sewa yang disebut dengan musyarakah muntanaqisah. Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah atau kendaraan), misalnya, 30 persen dari nasabah dan 70 persen dari bank.
Untuk memiliki barang tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi yang dimiliki bank, karena pembayarannya dilakukan secara proposional sesuai dengan besarnya angsuran.
Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100 persen dan porsi bank 0 persen. KPR menggunakan akad musyarakah muntanaqisah kurang diminati oleh nasabah dikarenakan terdapat kesulitan dalam melakukan pembayaran pokok, hishah (porsi kepemilikan atas objek musyarakah muntanaqisah) dan ujrah (upah).
Sementara itu KPR menggunakan bank konvensional di dalamnya terdapat penawaran program suku bunga dengan bunga 2,88 persem fixed 1 tahun, 3,88 persenĀ fixed 2 tahun, 4, 99 persen fixed 3 tahun, sedangkan dalam KPR Bank BSI/Syariah di dalamnya tidak menggunakan sistem bunga.
Hal tersebut sesuai dengan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 08 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa bunga (interest) adalah riba karena merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 130, QS. Al Baqarat ayat 275 dan 278.
Dengan demikian, menurut hemat Majelis Tarjih empat macam produk yang berkaitan dengan KPR yang ditawarkan oleh Bank BSI/Syariah tidak bertentangan dengan asas dan tolok ukur Etika Bisnis dalam Islam sehingga dapat menjadi alternatif penawaran kepada nasabah KPR. Demikian jawaban Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. (*)
Sumber: Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah edisi 108 April 2023