Menuai Apa yang Kau Taburkan
foto: linkedin
UM Surabaya

*) Oleh: Sigit Subiantoro,
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri

Kita menuai apa yang kita tabur adalah pepatah yang berarti konsekuensi masa depan pasti dibentuk oleh tindakan saat ini.

Jadi, segala sesuatu yang terjadi adalah hasil dari hal-hal yang telah kita lakukan di masa lalu.

Atau kita adalah produk dari masa lalu kita sendiri.

Ketika kita disakiti, inginnya kita balik menyakiti, ketika ada orang membentak, inginnya kita langsung balik membentak.

Ketika ada orang berkhianat, kita pun ingin membalasnya.
Dan dalam hukum vibrasi ini adalah ciri orang-orang yang punya energi rendah atau vibrasi force.

Padahal walaupun kita tidak membalasnya kelak akan ada balasan dari orang lain atau balasan dari Allah langsung.

Allah telah berfirman dalam QS. Al Isra Ayat 7 tentang kebaikan yang perlu dilakukan oleh manusia.

Artinya: Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri.

Atau dalam agama Hindu dan Budha ada yang dinamakan karma.

Ketika kita melakukan suatu kejahatan maka kita akan menerima balasannya.

Dan ketika kita di masa lalu, banyak melakukan hal-hal yang negatif. Maka bisa jadi di masa depan Allah timpahkan ujian, cobaan bahkan musibah.

Maka di sinilah perlu introspeksi diri atau muhasabah.

Dalam hal bercocok tanam atau memelihara kebun, apa yang kita tuai bergantung dari apa yang kita taburkan.

Bila kita menanam tanaman stroberi, maka sudah pasti kita juga akan menuai hasil buah stroberi saat tanaman itu sudah bertumbuh dan berbuah. Tidak mungkin kita menanam semangka, tapi yang kita tuai adalah buah mangga.

Apa yang kita tabur dalam hidup ini, mempunyai akibat langsung dengan apa yang kita terima di kehidupan kita di masa yang akan datang.

Dengan kata lain, segala perbuatan dan tingkah laku kita memiliki akibatnya, dan suatu saat kita harus mempertanggungjawabkannya.

Ketika pasangan kita berbuat tidak baik atau disebut saja selingkuh. Lalu hati kita benar-benar sakit dan dendam ingin membalasnya dengan cara apa pun.

Atau justru kita menyakiti diri sendiri dengan menyimpan sampah pikiran dan sampah emosi.

Sehingga yang terjadi adalah kesehatan fisik dan mental langsung drop.

Jika sudah ditegur, diperingatkan, masih juga tidak mau berubah.

Pilihannya dua: berpisah atau bertahan.

Jika berpisah, ya sudah selesaikan secara baik-baik saja. Tanpa menyimpan dendam. Karena jika ini disimpan maka kehidupan selanjutnya pun tidak akan menemukan kebaikan, dan jika pun menikah lagi besar kemungkinan akan menemukan hal yang sama.

Maka perlu sekali untuk membersihkan diri atau membersihkan orang lain.

Dan jika tetap mau bertahan, berserah saja sepenuhnya pada Allah. Dosanya adalah tanggung jawabnya dia sendiri nanti di hadapan Allah.

Dan pasti ada balasannya, cepat atau lambat.

“Tapi tidak mudah, Bung..”

Jalan menuju surga memang tidak mudah. Dan jalan ke surga memang tidak bisa dibeli.

Dan coba saja sekarang tanyakan pada diri sendiri. Ketika dulu kita mencari pasangan tujuannya untuk apa?

Ada yang terpikirkan hanya untuk menikah saja dan tidak punya tujuan yang jelas.

Ketika mau menikah kita hanya memikirkan bagaimana pestanya? Tempatnya? Atau maharnya?. Nanti tinggal di mana?

Sampai lupa memilih pasangan hidup yang betul-betul saleh.

Ya, jangan mengeluh, meratap ketika dalam pernikahan kita diuji oleh Allah.

Karena mungkin dari awal kita tidak memikirkan dan belajar atau menuntut ilmu untuk mendapatkan pernikahan yang bisa menuju surganya Allah.

Atau bisa jadi kita belum menanam apa pun sehingga kita tidak akan menuai apa pun.

Semoga bisa jadi renungan. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini