Tanpa taufik, kita tidak akan mampu meninggalkan maksiat. Tanpa taufik, kita juga tidak akan bisa istikamah dalam kebaikan.
Ketika kita telah Allah Azza Wa Jalla berikan hidayah dan taufik-Nya, sudahkah kita juga minta kepada Allah Azza Wa Jalla agar diberikan istikamah (keteguhan) dalam keadaan baik?
Agar Allah Azza Wa Jalla tidak memalingkan hati-hati kita, setelah Allah Azza Wa Jalla memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita.
Karena bisa jadi, ketika saat ini kita dalam keadaan baik, saleh, rajin beribadah. Apakah ada jaminan, bahwa kita akan tetap bisa melakukan itu semua sampai akhir hidup kita?
Akankah kita tetap dalam keadaan saleh sampai Allah mencabut nyawa ini? Sampai ajal tiba? Jawabnya belum tentu!
Doa yang paling sering Nabi shallallahu alaihi wasallam baca adalah: “Wahai Zat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi 3522)
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
“Kenapa doa tersebut yang sering dibaca? Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya hati manusia selalu berada di antara jari- jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun, siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. At-Tirmidzi 3522)
Dalam riwayat lain, Rasulullah menjelaskan: “Sesungguhnya hati itu berada di tangan Allah Azza Wa Jalla, hanya Allah yang mampu membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad, 3:257)
Mengapa kita harus meminta istikamah? Karena amal itu dilihat bukan pada saat ini namun, pada akhirnya, yaitu ketika akhir kehidupan kita menjelang kematian, amal apa yang kita lakukan, amal sali\eh ataukah maksiat yang kita lakukan?
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan-amalan itu bergantung pada akhirnya”. (HR. Ibnu Hibban 340)