Soal Amal Usaha Bidang Politik, Ketua LHKP Jatim Beri Catatan Khusus
Muhammad Mirdasy. foto: masruroh/basra
UM Surabaya

Wacana perlukah Muhammadiyah memiliki amal usaha di bidang politik terus bergulir. Berbagai tanggapan pun muncul, ada kalangan yang sepakat karena hal itu bisa memperkuat dakwah Muhammadiyah. Namun ada pula yang menolak karena bisa dianggap mengganggu citra Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi independen.

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHK) PWM Jatim Muhammad Mirdasy mengatakan, keinginan Muhammadiyah memiliki amal usaha di bidang politik seperti siklus isu yang muncul dan tenggelam.

“Bisa dibilang dari waktu ke waktu mengalami pasang surut yang luar biasa,” ujar Mirdasy kepada majelistabligh.id, Rabu (17/7/2024).

Dia lalu menyebut ada masa bulan madu sangat kuat di mana Muhammadiyah getol membicarakan hasrat mendirikan amal usaha di bidang politik. Pertama, pada masa Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan pada 7 November 1945.

Masyumi menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia pada masa awal kemerdekaan memiliki peran penting dalam politik Indonesia. Masyumi dikenal sebagai partai yang berlandaskan pada ajaran Islam dan memiliki basis dukungan yang kuat di kalangan umat Islam Indonesia.

“Yang paling terlihat di masa Masyumi dan masa awal berdirinya Parmusi ((Partai Muslimin Indonesia) yang kemudian bergabung ke PPP ( Partai Persatuan Pembangunan) di era Orde Baru,” jelas Mirdasy.

Baca juga: Perlukah Muhammadiyah Bikin Amal Usaha di Bidang Politik?

Dalam sejarahnya, pembentukan Parmusi pada 20 Februari 1968, terjadi setelah Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno, tahun 1960, karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Banyak mantan anggota Masyumi yang kemudian bergabung dengan Parmusi, menjadikannya sebagai penerus ideologi dan semangat Masyumi.

Parmusi pada awalnya mendapat dukungan dari kalangan umat Islam yang kecewa dengan pembubaran Masyumi. Namun, dalam perjalanannya, Parmusi mengalami berbagai tantangan dan dinamika politik yang menyebabkan partai ini tidak sebesar dan sekuat Masyumi. Pada akhirnya, Parmusi bergabung dengan PPP, tahun 1973. Ini seiring dengan kebijakan fusi partai politik di era Orde Baru.

Bulan madu kedua, sambung Mirdasy, pada saat Prof. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), tahun 1998.

PAN dan Muhammadiyah dianggap memiliki banyak kesamaan dalam hal nilai-nilai moral dan etika, mengingat akar pendirian PAN yang dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah.

“Banyak anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang mendukung dan bergabung dengan PAN,” ungkap Mirdasy.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini