Menurut dia, pengertian amal usaha di bidang politik harus dipahami bukan keinginan Muhammadiyah memiliki partai politik (parpol).
Mirdasy memberi ada dua catatannya terkait peran Muhammadiyah di ranah politik. Pertama, Muhammadiyah lebih nyaman mendistribusikan kader-kadernya yang terjun ke parpol. Hal ini menjadikan Muhammadiyah sebagai sumber inspirasi bagi parpol.
Kedua, Muhammadiyah lebih menempatkan diri sebagai ormas Islam yang bisa membangun jaringan komunikasi, bukan hanya parpol tapi juga dengan seluruh kekuatan politik.
“Pola hubungannya bersifat kemitraan yang kritis dan bisa memberikan sumbang saran,” tandas mantan anggota DPRD Jatim ini.
Dalam situasi seperti ini, imbuh Mirdasy, pertanyaan yang sering dilontarkan untuk Muhammadiyah, apakah posisi bandulnya ke kanan yang artinya dengan kekuasaan, atau ke kiri yang artinya menjauhi kekuasaan.
Baca juga: Pesan Kiai Sholihin Fanani di Forum Muhammadiyah bersama DPD RI
Dikatakan Mirdasy, dalam politik, Muhammadiyah mengambil posisi washatiyah, politik yang tengah. Tidak mau keliwat jauh terlibat dalam urusan, tapi di sisi lain Muhammadiyah tdak ingin kehilangan perannya di bidang politik
“Memang tidak mudah. Malah sebagian kalangan menyebut cenderung ambigu. Makanya, saya sampaikan, sesungguhnya pandangan amal usaha bidang politik itu bukanlah menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, namun Muhammadiyah bisa berperan dalam pengambilan kebijakan yang pro-rakyat dan sesuai dengan nilai-nilai Islam,” jelasnya.
Untuk diketahui, lontaran perlukan Muhammadiyah memiliki amal usaha di bidang politik mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) LHKP Jatim dengan DPD RI di Aula Mas Mansur Gedung PWM Jatim, Senin (15/7/2024).
Menurut Sekretaris PWM Jatim Prof. Biyanto, Muhammadiyah ini dianggap sukses di amal sosial, kesehatan dan pendidikan. Hingga kemudian mencuat keinginan, apakah apakah Muhammadiyah perlu menjadikan politik sebagai amal usaha. (wh)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News