Baiat berasal dari kata Arab baa’a dan baya’a yang berarti jual beli dan janji setia. Dari segi istilah baiat berarti janji taat setia kepada pemimpin, baik pada waktu senang maupun susah. Janji setia ini diberikan oleh kaum muslimin kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi mereka.
Dalam sejarah, baiat atau janji setia dilakukan oleh umat Islam kepada Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidun dan para khalifah yang datang setelah mereka sampai kekhilafahan itu ditumbangkan oleh Kamal Ataturk dari Turki pada tahun 1924.
Baiat diperbolehkan oleh agama dan pernah dicontohkan oleh Nabi Saw. Landasan hukum diperbolehkannya baiat terhadap pemimpin, yaitu: “Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ ketika menjadi penguasa Hurrah pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah kemudian ia berkata,
Ambilkanlah bantal untuk Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar)”, lalu Abdullah bin Umar berkata, “Aku datang kepadamu bukan untuk duduk, aku datang untuk menyampaikan hadis yang aku dengar dari Rasulullah Saw, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,
“Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan (tidak taat kepada Khalifah) niscaya dia akan menemui Allah tanpa mempunyai alasan, dan barang siapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (janji setia kepada Khalifah) maka dia mati dengan kematian jahiliyyah”.” [HR. Muslim].
Dalam hadis lain disebutkan: “Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan pada kami, Laits bin Ubaidillah bin Nafi’ telah menceritakan pada kami, dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi Saw, beliau bersabda,
“wajib atas seorang muslim patuh dan taat (kepada imam), pada apa yang ia senangi dan tidak ia senangi selama tidak diperintahkan untuk durhaka, jika ia diperintahkan untuk durhaka maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan”.” [HR. Muslim].
Ada pula hadis yang menyebutkan: “Muhammad bin Mutsana bin Basyar telah menceritakan kepada kami—lafal hadis dari Ibnu Mutsana—ia berkata:
Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari Zubaid, dari Sa’id bin ‘Ubaidah, dari Abi ‘Abdi-Rahman, diriwayatkan dari Ali bahwasannya Rasulullah Saw mengutus pasukan dan memerintahkan seseorang di antara mereka untuk menyalakan api, kemudian laki-laki berkata: Masuklah kalian ke dalam api.
Lalu sebagian orang hendak masuk ke dalam api, dan sebagian yang lain berkata: Sesungguhnya kami telah melarikan diri darinya (masuk ke dalam api).
Peristiwa tersebut selanjutnya diceritakan kepada Rasulullah Saw kemudian beliau berkata terhadap orang-orang yang hendak masuk ke dalam api tersebut: Sekiranya kalian masuk ke dalam api maka kalian akan senantiasa berada di dalamnya sampai hari kiamat.
Selanjutnya Rasulullah Saw berkata kepada kelompok yang melarikan diri dari api dengan perkataan yang baik dan bersabda:
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Khalik (Allah subhanahu wa ta’ala) sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan”.” [HR. Muslim].
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa baiat adalah janji setia kepada khalifah sepanjang tidak maksiat kepada Allah, sehingga tidak dibenarkan untuk berbaiat terhadap kelompok tertentu.
Baiat pada zaman Rasulullah Saw berbeda dengan zaman sekarang, hal ini dikarenakan baiat yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw adalah para sahabat yang membaiat beliau sebagai khalifah (pemimpin), sedang pada zaman sekarang justru kebalikannya yakni pemimpin lah yang membaiat para anggotanya.
Baiat yang terjadi sekarang sering disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk tujuan tertentu terutama untuk kepentingan kelompok.
Sehingga berdampak negatif dalam kehidupan keagamaan di kalangan umat Islam, seperti menuduh kafir orang lain yang tidak berbaiat kepada imam kelompoknya bahkan ada yang sampai menghalalkan darah orang yang keluar dari kelompoknya. (*)
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 10, 2015