Di era digital saat ini, aplikasi kebugaran seperti Strava telah menjadi bagian integral dari gaya hidup banyak orang.
Strava memungkinkan pengguna untuk melacak dan membagikan aktivitas olahraga. Bakan, telah menciptakan komunitas global yang saling mendukung dan berkompetisi.
Namun, di balik semangat sportivitas dan pencapaian pribadi, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai joki Strava.
Hudaniah, SPsi, MSi, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjelaskan bahwa joki Strava adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dibayar atau diminta untuk menjalankan aktivitas olahraga atas nama orang lain di aplikasi Strava.
“Fenomena ini mirip dengan praktik ‘joki tugas’ di dunia pendidikan, di mana seseorang membayar orang lain untuk menyelesaikan tugas atau ujian mereka,” tambahnya.
Jika ditinjau dari sisi psikologis, salah satu dorongan utama di balik penggunaan Strava adalah kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik setiap harinya, dan memberikan rasa puas tersendiri.
Namun, seringkali pencapaian ini dibandingkan dengan orang lain. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya dorongan untuk diakui dan dihargai oleh orang lain.
Lebih lanjut, media sosial memainkan peran penting dalam fenomena joki Strava. Dengan platform seperti Strava, setiap orang memiliki peluang untuk dilihat dan diapresiasi oleh komunitasnya.
Terlebih, seorang individu pasti ingin memastikan bahwa dirinya terlihat berprestasi di mata orang lain.
“Setiap orang memiliki kebutuhan untuk need for exhibition, untuk diketahui kehadirannya dan mendapat pengakuan dari orang lain dengan harapan dapat diapresiasi positif. Sehingga, ini menciptakan peluang pasar bagi penjoki yang mana transaksi joki Strava dapat terjadi,” jelas kepala UPT Bimbingan dan Konseling UMM itu.
Fenomena joki Strava juga menunjukkan bagaimana media sosial dapat menciptakan tekanan untuk memamerkan prestasi yang sebenarnya palsu.
“Ini semacam flexing dalam bentuk media laporan hasil olahraga. Sebatas angan-angan yang ingin diperlihatkan tapi palsu,” ujar Hudaniah.
Jika jika ditinjau dari analisis teoritik tentang dinamika psikologis, menggunakan jasa joki Strava sebenarnya adalah bentuk manipulasi yang mencerminkan mekanisme pertahanan diri. Pada dasarnya, meraih prestasi dengan cara yang baik memang berat dan butuh perjuangan. Bagi sebagian orang, jalan pintas ini diambil karena malas atau karena memiliki uang lebih.
Namun, tindakan ini membawa konsekuensi psikologis yang serius. Individu yang memanipulasi hasil, kemungkinan besar mengalami peningkatan kecemasan dan kekhawatiran “rahasia”nya akan diketahui orang lain. Pada akhirnya, dapat berdampak negatif pada kesehatan mentalnya.
Meski demikian Hudaniah menyatakan, fenomena joki Strava tidak akan bertahan lama, seperti halnya tren-tren yang pernah booming sebelumnya. Namun, penting bagi masyarakat untuk tidak tergoda oleh fenomena ini.
“Tujuan utama olahraga adalah untuk kesehatan, lakukanlah sebisa kita secara bertahap. Kita nggak harus membandingkan dengan orang yang starting point-nya di atas kita,” tandasnya. (lai/wil/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News