Gerry menyarankan tiga hal yang dapat dilakukan oleh Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah diharapkan tetap aktif melakukan dialog di tengah krisis iklim untuk mencari solusi yang efektif dan berkelanjutan. Karena persoalan ini harus melibatkan semua komponen masyarakat.
Kedua, melihat masalah melihat krisis iklim dari kaca mata emansipatoris yang menekankan keadilan sosial, kesetaraan, dan pemberdayaan masyarakat.
“Emansipasi itu berhubungan dengan pembebasan. Kita di dunia akademis dekat dengan keinginan orang untuk merdeka, bebas bermimpi dengan masa depannya yang lebih baik,” kata Gerry.
Ketiga, memikirkan dimensi bumi. Ideologi Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan, lebih banyak menyentuh masalah sosial. Dimensi sosialnya sangat kita. Sementara bumi juga membutuhkan solidaritas.
“Bagi kita, bumi juga mengeluarkan jeritan, pohon juga sengsara. Sama dengan orang miskin, alam juga butuh pertolongan, butuh kesetiakawanan. Bagaimana kita bisa mendengar perasaan yang ada bumi tentu butuh kepekaan. Para ahli ekologi bisa melakukan. Karenanya, jangan sampai ahli ekologi bisa dibeli untuk merusak,” jelas Gerry.
Gerry juga menjelaskan soal seberapa besar peran agama dalam mendukung gerakan ekologis. Menurut dia, peran agama di Indonesia sangat besar, beda di negerinya Australia yang sekuler.
Di Indonesia, sebut dia, pergerakan lingkungan dengan motivasi agama sangat menonjol, sementara di Australia tidak kelewat terlihat atau tidak terlalu keluar.
“Tapi saya kira sama-sama concern, asal hatinya murni. Itu yang penting, kan? Yang sekuler juga bisa diajak bekerja sama. Karena memiliki kecemasan yang sama. Motivasinya sama, yaitu menuju dunia yang lebih adil,” pungkas dia. (wh)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News