Mendapat Anugerah Semua Kebaikan dari Allah

Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barang siapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).

Kandungan hadis:

1. afadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas.

Seakan-akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya.

Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.

2. Orang yang enggan mempelajari Islam, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan yang banyak.

3. Imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadis di atas, beliau mengatakan:

مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين – أَيْ : يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع – فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر

“Konteks hadis di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip dasar Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia telah terhalang untuk memperoleh kebaikan”. (Fathul Baari 1/165).

4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه

“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.”
(Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).

5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim nomor 2699).

6. Orang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakikatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang.
Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan:

مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ

وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

“Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya

Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat.” (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah)

7. Dampak dari kebodohan terhadap Islam adalah berkurangnya keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang muslim yang alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya, dan begitu pula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah sehingga ia dapat menjauhinya.

Berbeda halnya dengan seorang muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia.

Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja, ia tidak terlalu memedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.

Terkadang dia beranggapan bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan dan mengukurnya dengan barometer syariat, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah ta’ala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.

8. Ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.

Dosa terbesar dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Di antara firman Allah ta’ala yang mendeskripsikan tentang hal ini adalah:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

“Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (bodoh terhadap syariat).” (Al A’raaf: 138).

Menuntut ilmu agama merupakan bagian dari ibadah, di mana setiap muslim diperintahkan untuk mempelajarinya, masing-masing sesuai kemampuan yang Allah berikan padanya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ على كل مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.”

(Hadis sahih, diriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya: Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu Anhum. Lihat: Sahih al-jami: 3913)

Di samping hukum wajibnya menuntut ilmu syar’i, Allah ta’ala dan Rasul-Nya banyak sekali menyebutkan tentang keutamaan menuntut ilmu, yang seharusnya sebagai seorang muslim, menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai penyemangat lalu berusaha mengisi waktu-waktunya dengan mempelajari kitabullah dan hadis-hadis Rasulullah saw.

Sebab hal itu akan menjadi pedoman hidup seorang hamba yang mengharapkan hidayah dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua pedoman yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: kitabullah dan sunahku.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/172). (*)

*) Ajang Kusmana S.Ag, MAg, dosen Universitas Muhammadiyah Malang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini