*) Oleh: Agus Wahyudi
Cahaya matahari melewati celah-celah dedaunan. Garis-garis cahayanya terlihat tajam nan indah. Posisinya berada di sudut rendah. Sang surya, lamat tapi pasti, beranjak menepi. Mendekati cakrawala. Sinarnya berasa lembut. Mengalirkan kehangatan.
Sore itu, selepas asar, beberapa orang menuju warung kopi (warkop). Lokasinya di tengah kompleks perumahan Kertomenanggal, Surabaya. Sekira 35 meter dari Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
Warkop itu tak diberi nama. Hanya, banyak orang lebih familier menyebut nama pemiliknya, Mbak Wati. Warkop tersebut buka sejak tahun 1990-an. Kala itu, di depannya masih ada hamparan sawah yang subur. Luasnya sekitar empat hektar lebih. Sawah itu kini sudah tak produktif. Di sekelilingnya juga telah ditembok.
Sementara, Kantor PWM Jatim masih berupa bangunan rumah dua lantai. Belum semegah seperti sekarang. Gedung berlantai tiga. Punya aula yang dilengkapi instrumen digital. Para pengurus dan aktivis Muhammadiyah menjadikan warkop itu sebagai tempat pelepas penat. Selain ngopi, juga tersedia makanan menu rumahan, seperti sayur asem, sayur lodeh, sayur bening, dan lainnya.
Hari itu, Jumat (2/8/2024), usai Salat Ashar, saya bareng beberapa pengurus majelis tabligh ke warkop Mbak Wati. Suara sapaan terdengar akrab. Saya spontan menoleh. Melihat Prof. Nazaruddin Malik, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersenyum.
Prof Nazar, begitu sapaan karibnya, Dia sedang duduk berhadapan dipisahkan meja dengan Khoirul Abduh. Keduanya kini menjabat wakil ketua PWM Jatim. Di meja Prof Nazar tersedia segelas wedang Corona. Minuman favorit dia, jika tak lagi ingin minum kopi.
Baca juga: Pergulatan KH Mas Mansur dalam Jurnalisme Profetik
Wedang Corona ala Mbak Wati tersebut memang jadi andalan. Munculnya saat pandemi Covid-19. Ketika banyak orang lagi lagi getol mencari asupan untuk memperkuat imun dan antioksidan. Wedang Corona itu berisi jahe, serai, kayu manis, dan gula aren.
“Weh, yok opo kabare wartawan iki,” ucap Prof Nazar yang mengenakan seragam bertuliskan “UMM” di dada kirinya.
Saya bergegas menghampiri, lalu menyalaminya. Prof Nazar, lalu meminta saya mengambil kursi, kemudian mempersilakan duduk dekat dengannya.
“Prof habis dari luar negeri, ya. Saya lihat foto-foto. Keren,” kata saya yang memang berteman di Instagram.
Prof Nazar lantas tersenyum. Dia bilang baru pulang setelah melakukan lawatan ke Brasil. Ikut mendampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Muhadjir Effendy.
“Itu yang memfoto Mas Roy,” ucap Prof Nazar, merespons komentar saya di beberapa spot yang dikunjunginya. Mas Roy yang dimaksud Prof Nazar itu adalah Dr. Rohman Budijanto, stafsus Menko PMK yang saya kenal akrab.
Seperti biasa, di warkop itu, kami larut dalam diskusi. Prof Nazar selalu bermurah hati membagi pengetahuan dan pengalaman. Terutama terkait isu-isu mutakhir. Sebagai akademisi, Prof Nazar mampu menjelaskan persoalan dengan detail dengan contoh yang mudah dipahami.
Saya dan juga teman aktivis lain, sangat senang berdiskusi dengan Prof Nazar. Apalagi mendengar pengalaman beliau yang menjadi bagian dalam membangun UMM hingga menjadi kampus Islam terbaik di dunia. Yang dulu banyak orang tak menyangka jika UMM yang kini menjadi universitas terpandang, berawal dari kondisi prihatin, serba terbatas dan kekurangan.