Karena itulah maka dalam ayat berikut ini disebutkan melalui firman-Nya:
{وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ}
Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al- Imran: 145)
Yakni Kami akan memberikan kepada mereka sebapan anugerah dan ranmat Kami di dunia dan akhirat sebanding dengan rasa syukur dan amal mereka
Kemudian Allah (Subhanahu wa Ta’ala) menghibur kaum mukmin dari musibah yang telah menimpa mereka dalam Perang Uhud, yang sebelum itu mempengaruhi jiwa mereka. Untuk itu Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:
{وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ}
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. (Ali Imran: 146)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah berapa banyak nabi yang terbunuh dan terbunuh pula bersamanya sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, karena sesungguhnya dia mengatakan, “Adapun orang-orang yang membaca qutila ma’ahu ribbiyyuna kasir, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang terbunuh ialah nabi dan sebagian dari para ulama yang mengikutinya, bukan seluruhnya. Kemudian dinafikan (ditiadakan) rasa lesu dan lemah dari orang-orang yang tersisa yang tidak terbunuh.”
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang yang membaca qatala mengemukakan alasan yang menjadi pilihannya itu, bahwa seandainya mereka terbunuh, maka firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala) yang mengatakan: Mereka tidak menjadi lemah. (Ali Imran: 146) tidak mempunyai kaitan yang dapat dimengerti, mengingat mustahil bila mereka digambarkan sebagai orang-orang yang tidak lemah dan tidak lesu setelah mereka terbunuh.
Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat ulama yang membaca qutila ma’ahu ribbiyyuna kasir (yang terbunuh bersamanya sejumlah besar dari para pengikutnya). Alasannya ialah karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) melalui ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya menegur orang-orang yang lari karena kalah dalam Perang Uhud dan meninggalkan medan perang ketika mereka mendengar seruan yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh. Maka Allah mencela dan menegur mereka karena mereka melarikan diri dan meninggalkan medan perang. Allah berfirman kepada mereka: Apakah jika dia wafat atau dibunuh, lalu kalian berbalik ke belakang? (Ali Imran: 144) Yaitu kalian murtad dari agama kalian, hai orang-orang mukmin?
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah berapa banyaknya nabi yang terbunuh di hadapannya sejumlah besar dari para pengikutnya yang setia.
Pendapat Ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah menunjukkan pengertian yang lain, karena sesungguhnya dia mengatakan bahwa berapa banyaknya nabi yang terbunuh, padahal dia ditemani oleh sejumlah orang yang banyak, tetapi ternyata para pengikutnya tidak lesu dan tidak lemah dalam meneruskan perjuangan nabi mereka sesudah nabi mereka tiada. Mereka tidak takut menghadapi musuh mereka dan tidak menyerah kepada musuh karena kekalahan yang mereka derita dalam jihad demi membela Allah dan agama mereka. Sikap seperti inilah yang dinamakan sifat sabar. Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146) Dengan demikian, berarti ia menjadikan firman-Nya: sedangkan ia ditemani oleh sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. (Ali Imran: 146) sebagai jumlah hal (kata keterangan keadaan).
Pendapat ini ternyata mendapat dukungan dari As-Suhaili, dan ia membela pendapat ini dengan pembelaan yang berlebihan. Tetapi dia memang beralasan karena berdasarkan firman-Nya: Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka. (Ali Imran: 146), hingga akhir ayat.