Dalam Perpres ini tegas mengatakan pada Pasal 5A:
1. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK yang berasal dari wilayah eks PKP2B dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh Organisasi Kemasyarakatan keagamaan.
2. Organisasi Kemasyarakatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan memiliki organ yang menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat.
3. Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak PP Nomor 25 Tahun 2024.
Berdasarkan aturan tersebut timbul pertanyaan bagaimana tata kelola yang baik sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, hukum positif ini sebagaimana dijelaskan di atas belum cukup, karena itu penting ijtihad baru yakni pertambangan secara syariah.
Para ahli hukum Islam menyadari hal ini, sehingga muncul adagium yang berbunyi “Teks-teks hukum itu terbatas apa adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas” (al-nushush mutanahiyah, wa amma al-waqa’i’ ghair mutanahiyah). Di sinilah perlunya ijtihad pelestarian lingkungan berupa Fatwa MUI.
Untuk itu menjaga lingkungan hidup (hifzhu al-bi’ah) jelas berada dalam bingkai mashlahah. Al-Qur’an hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti larangan perusakan atau larangan berlebih-lebihan (israf) dalam pemanfaatannya. Prinsip-prinsip ini dinamakan mashlahah mu’tabarah.
Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan tidaklah ditemukan dalam Al-Qur’an.
Kita harus berijtihad secara kolektif bagaimana, misalnya, tambang supaya tidak merusak lingkungan. Kebutuhan untuk menjaga lingkungan tetap niscaya untuk dijalankan, karena lingkungan hidup merupakan penopang segala kehidupan ciptaan Tuhan.