Kaidah Fiqhiyyah dalam Kubangan Tambang
M. Rifqi Rosyidi
UM Surabaya

*) Oleh: M. Rifqi Rosyidi,
Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran dan anggota Mejelis Tarjih dan Tajdid PWM  Jatim

Tambang menjadi isu yang sangat seksi. Setiap orang tertarik untuk berkomentar dengan berbagai macam sudut pandang, termasuk dari kaca mata agama dengan perspektif fikih. Ketika wacana pengelolaan tambang oleh ormas menjadi isu sentral pada medio 2024, dan salah satu ormas Islam langsung mengiyakan tanpa proses panjang, maka muncullah gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Mereka dengan intens mempopulerkan satu kaidah fiqhiyyah sebagai landasan syar’īy bagi penolakan terhadap undang-undang yang memberi kewenangan ormas untuk mengelola tambang tersebut.

Kaidah fiqhiyyah itu berbunyi: dar’u al-mafsadati muqaddamun ‘alā jalbi al-mashālih (menghindari terjadinya kerusakan harus lebih dikedepankan daripada hanya mengambil keuntungan). Dengan asumsi bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang jauh lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu wajib dihindari.

Saat ini, fakta empiris memang menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan banyak diklaim oleh pemerhati lingkungan hidup menimbulkan masalah sosial dan kerusakan alam yang dahsyat. Sehingga dengan berpegang pada kaidah fiqhiyyah di atas, haram hukumnya bagi ormas menerima tawaran mengelola tambang karena akan menimbulkan mafsadah yang sangat besar.

Oleh karena itu, undang-undang tersebut harus ditolak karena prinsipnya hukum syar’ī menggariskan bahwa meninggalkan kemudaratan harus menjadi prioritas utama daripada sekedar ingin mendapatkan keuntungan.

Baca juga: Sentuhan Dakwah Tambang Muhammadiyah yang Berkemajuan

Tetapi sungguh sangat tidak komprehensif apabila melihat masalah tambang ini hanya dengan paradigma kaidah dar’u al-mafsadah (meninggalkan kerusakan) saja. Padahal harusnya kita juga melihat kasus tambang ini dengan paradigma irtikābu akhaffi al-dhararayni (mempertimbangkan risiko yang paling ringan mafsadahnya).

Berbicara tentang mashlahah dan mafsadah jangan hanya terfokus kepada pertentangan antara keduanya yang kemudian kita kenal dengan istilah al-ta’ārudl bayna al-mashlahah wa al-mafsadah. Yaitu, pertentangan antara kemaslahatan dan kemudaratan yang memunculkan kaidah fiqhiyyah di atas. Kajian tentang mashlahah dan mafsadah ada juga melahirkan terminologi tazāhum al-mashālih dan ada juga kasus al-ta’ārudl bayna al-mafāsid.

Terminologi terakhir inilah yang melahirkan paradigma irtikābu akhaffi al-dhararayni (mengambil risiko yang paling ringan di antara beberapa risiko negatif lainnya), di mana paradigma ini juga dinarasikan ke dalam sebuah kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: idzā ta’āradlat al-mafsadatāni rū’iya akbaruhumā bi irtikābi akhaffihimā. Kaidah ini menegaskan bahwa apabila terdapat sebuah kasus yang dianggap memiliki banyak sisi kemudaratan, maka perlu mengantisipasi timbulnya madarat yang lebih besar dengan mengambil sikap bijak memilih untuk melakukan yang dampak kerusakannya lebih ringan.

Paradigma fiqhiyyah inilah yang mungkin menjadi pijakan hukum bagi Muhammadiyah untuk menerima tantangan mengelola tambang. Harapannya ketika Muhammadiyah memutuskan untuk menerima tawaran ini tetap memegang semangat ayat in urīdu illā al-ishlāh mā istatha’tu [11:88] dan ayat lā tufsidū fi al-ardli ba’da ishlāhihā [7:56] sebagai wujud komitmen persyarikatan menggembirakan dakwah amar makruf dan nahi munkar dalam konteks menjaga kelestarian alam dan keadilan sosial.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini