Warga Muhammadiyah harus meyakini bahwa fatwa dan keputusan Muhammadiyah selalu dirumuskan melalui kajian-kajian yang holistik dengan melibatkan pakar dan intelektual lintas disiplin ilmu. Termasuk di antaranya adalah masalah tambang ini yang telah kita ketahui semua baru diputuskan setelah melakukan konsolidasi nasional bersama PWM se- Indonesia. Tentunya konsolidasi tersebut telah mengkaji secara ilmiah kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh persyarikatan serta pasti mempertimbangkan mashalah dan mafsadah secara komprehensif sehingga memenuhi kriteria irtikābu akhaffi al-dlararayni.
Karena prinsip hukum fikih yang berkenaan dengan kesimpulan adanya mafsadah dan mashlahah ini dibangun berdasarkan dzann (kemungkinan dan perkiraan), maka setiap fatwa dan keputusan Muhammadiyah sangat mungkin melahirkan dua sikap yang saling bertentangan di internal Muhammadiyah sendiri: ada yang pro dan ada juga yang kontra.
Baca juga: Tambang yang Ramah Lingkungan
Seperti halnya fatwa haramnya rokok yang kajiannya diakui banyak pakar sangat komprehensif. Tetapi faktanya banyak juga warga Muhammadiyah yang tidak mengindahkan fatwa tersebut dengan memunculkan anekdot dua mazhab tentang hukum rokok di internal Muhammadiyah: Mazhab Syafi’iyyah sebagai pengikut Buya Syafi’i yang tidak merokok dan Mazhab Malikiyyah untuk penganut Malik Fajar yang masih merokok.
Kalau di dalam ruang lingkup yang lebih individual seperti masalah rokok saja terjadi pro dan kontra, maka timbulnya gejolak dan perbedaan sudut pandang di internal persyarikatan terkait dengan pertambangan ini menjadi wajar yang niscaya.
Jadi, jangan pernah menilai hukum tambang dengan satu kaidah fiqhiyyah dar’u al-mafsadati muqaddamun ‘alā jalbi al-mashālih karena ada juga kaidah idzā ta’āradlat al-mafsadatāni rū’iya akbaruhumā bi irtikābi akhaffihimā. Sehingga tidak ada lagi istilah terjebak di dalam kubangan karena sikap menerima tantangan ini adalah pilihan yang disepakati secara struktural.
Dua kaidah fiqhiyyah di atas yang menjadi pijakan bagi masing-masing madzhab adalah kaidah fiqhiyyah terapan yang dibreak down kaidah fiqhiyyah kubrā: lā dlarara wa lā dlirāra. Secara tegas kaidah fiqhiyyah yang diambil secara tekstual dari hadits nabi tersebut menekankan prinsip hidup tidak membayakan diri sendiri dan tidak saling membahayakan.
Kaidah-kaidah fiqhiyyah semacam ini akan selalu muncul setiap kali ada keputusan hukum dengan perspektif mashlahah dan mafsadah sebagai sasaran kajiannya. Oleh karena itu Setiap orang berhak berargumen menggunakan kaidah fiqhiyyah sesuai dengan sudut pandangnya. Ketika pada saat eksekusi hasil kajiannya terbukti salah, maka langkah bijak adalah mengakui keterbatasan dan kembali kepada prinsip dasar dar’ul mafsadah. Wa Allāhu al-musta’ān. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News
Setujuuuu…..