Puncak dari perkembangan wacana ini terjadi pada Congres Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta. Pada saat itu M. Junus Anies dengan lantang menolak ordonansi guru dalam Rapat Terbuka yang dihadiri oleh anggota Muhammadiyah, utusan pemerintah Belanda, surat kabar seperti de Locomotief dan Pandji Poestaka, serta tamu undangan lainnya. Di kongres ini, Muhammadiyah kembali dengan tegas menuntut pencabutan ordonansi guru.
Setahun kemudian, M. Junus Anies sebagai Sekretaris Hoofd Bestuur Moehammadijah berpidato di Solo pada pembukaan Kongres Moehammadijah ke-18 tahun 1929. Dalam pidatonya, dia menunjukkan bahwa Muhammadiyah menentang secara keras ordonansi guru 1925. Sikap Muhammadiyah terhadap ordonansi guru 1905 dan 1925 menunjukkan strategi yang cukup bijak, terkadang kooperatif tetapi di saat lain tegas berseberangan dengan Belanda.
Penargetan spesifik terhadap institusi pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan upaya untuk menghapus eksistensi Islam dari Indonesia secara perlahan namun pasti. Ini bukan sekadar kebijakan pengawasan terhadap guru-guru agama, tetapi bagian dari strategi yang lebih besar untuk menghancurkan basis-basis pengetahuan Islam dan menghilangkan pengaruhnya dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam studi akademik, strategi semacam ini dikenal sebagai epistemicide. Pertama kali diperkenalkan diperkenalkan oleh sosiolog Portugis Boaventura de Sousa Santos pada 2007, frasa ini merujuk pada penghancuran sistem pengetahuan dan penghapusan sumber-sumber pengetahuan tradisional suatu kelompok masyarakat.
Epistemicide bertujuan untuk memutus kesinambungan tradisi intelektual suatu bangsa. Strategi semacam ordonansi guru dimaksudkan untuk itu, yaitu menghilangkan jejak peradaban pribumi dari segi pengetahuan dan kebudayaan. Di beberapa negara yang dijajah, strategi ini berhasil dengan menghancurkan sepenuhnya sistem pengetahuan lokal dan menggantinya dengan sistem pengetahuan yang didominasi oleh kolonial. Ini adalah bentuk penjajahan yang efeknya sangat sulit dipulihkan.
Namun, Muhammadiyah menyadari ancaman ini dan merespons dengan cara yang sangat bijaksana. Alih-alih terjebak dalam provokasi langsung yang bisa berakibat fatal, Muhammadiyah memilih jalan perlawanan intelektual dan politik yang terukur. Muhammadiyah berusaha membangun kesadaran di kalangan umat Islam tentang bahaya laten dari kebijakan-kebijakan tersebut. Memanfaatkan media massa dan forum-forum resmi seperti kongres, Muhammadiyah memastikan bahwa semangat perlawanan tetap hidup di kalangan umat Islam.
Perlawanan Muhammadiyah terhadap ordonansi guru dan upaya kolonial lainnya bukan hanya tentang mempertahankan hak mengajar agama, tetapi juga tentang mempertahankan eksistensi Islam sebagai bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Muhammadiyah mengerti bahwa pendidikan adalah benteng terakhir yang harus dipertahankan dalam menghadapi serangan kolonial.
Muhammadiyah dan gerakan Islam lainnya berhasil memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas keislaman bangsa Indonesia hingga akhirnya Indonesia meraih kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah yang bekerjasama dengan gerakan lainnya tidak hanya berperan dalam membebaskan fisik bangsa ini dari belenggu penjajahan, tetapi juga membebaskan pikiran dan jiwa bangsa ini dari pengaruh negatif kolonialisme.
Referensi:
Alfian, Politik kaum modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap kolonialisme Belanda, al-Wasat, 2010.
Budd L. Hall dan Rajesh Tandon, “Decolonization of knowledge, epistemicide, participatory research and higher education”, dalam Research for All, 1 (1), 2017, 6–19.
Farid Setiawan, “Kebijakan pendidikan Muhammadiyah terhadap ordonansi guru”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 2014, 47-70.
Zaini Dahlan, “Respons Muhammadiyah di Indonesia Terhadap ordonansi Guru Awal Abad XX”, dalam Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 1, No. 1 (2020), pp. 26-48.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News