*) Oleh: Ahsan Jamet Hamidi,
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan
Pada tahun 1934, Siti Walidah alias Nyai Ahmad Dahlan telah mengeluarkan tutorial tentang mode kain penutup kepala bagi seorang perempuan muslimah. Berbeda dengan yang lain, kain penutup kepala Nyai Ahmad Dahlan dibuat lebih rapat sehingga bisa menutup seluruh kepala dan lehernya.
Model kain penutup kepala seperti itu juga digunakan oleh Hj. Rangkayo Rasuna Said, seorang perempuan politikus dan pejuang kemerdekaan Indonesia asal Minangkabau. Jilbab khasnya itu biasa disebut dengan mudawarah.
Samsul Maarif, peneliti dari Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) berpandangan bahwa hingga 1970-an, jilbab belum populer di Indonesia. Kebanyakan kaum perempuan muslimah masih menggunakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak dengan leher masih terlihat. Seperti yang terlihat dari tampilan Ibu Negara Fatmawati.
Menurut Samsul Maarif, jilbab baru mulai dikenal pada tahun 1980-an, salah satunnya karena pengaruh dari Revolusi Iran 1979. Sebaran berita kemenangan Ayatullah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran, telah berhasil mendorong munculnya solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia. (sumber: https://historia.id/kultur/articles/membuka-bab-sejarah-jilbab).
Sebagai penguasa Orde Baru Soeharto mungkin juga terpengaruh oleh pandangan itu. Dia melihat gerakan penggunaan jilbab oleh para perempuan Indonesia saat itu dari kaca mata politik, lalu meresponsnya secara negatif.
Gairah penggunaan jilbab itu telah dicurigai sebagai kebangkitan gerakan radikalisasi Islam. Oleh karena itu, dia menginstruksikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk meneken Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82, mengenai Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri. Surat itu diteken pada 17 Maret 1982.