Apa dan Bagaimana Saintisme? Ini Penjelasan Ulama Tarjih
foto: michael Blann/ getty images
UM Surabaya

Saintisme bermula dari paham sekulerisme. Sejak kata secularism ditemukan, orang-orang mulai berpikir berdasarkan pada pertimbangan yang murni manusiawi.

Gelombang sekulerisme ini tidak hanya merambat pada ruang publik, tapi juga telah masuk dalam dunia akademik.

Akibat yang ditimbulkan adalah dunia pendidikan mulai meninggalkan nilai-nilai metafisika, lalu tergoda mencari pelarian pada hal-hal yang bersifat fisik semata.

Manifestasi epistemologi sekuler menghasilkan split antara iman dan ilmu ini menjadikan ilmuwan tidak secara otomatis menjadi relijius.

Sekulerisme memicu lahirnya paham saintisme, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Secara sederhana, saintisme ialah paham yang menganggap bahwa sains sebagai satu-satunya pandangan dunia yang valid.

Syahadat saintisme adalah tidak ada realitas di luar alam fisik, tentu saja termasuk Tuhan. Persis inilah ideologi orang-orang dari gelombang New Atheism yang digalakkan Richard Dawkins.

Selain itu, pemisahan teologi terhadap ilmu pengetahuan menyebabkan adanya jarak antara ilmu dan etika.

Padahal di dalam Islam, hukum yang dihasilkan memiliki implikasi mendalam terhadap moralitas dan menyediakan citra keindahan yang sublim kepada dunia.

Namun, adanya pemisahan ilmu dan etika ini mendorong sikap nihilistik dan dekonstruksionis.

Manifestasi epistemologi sekuler juga menghasilkan split antara ilmu dan etika, akhlak dan pengetahuan tidak bersambung.

Hal ini kemudian berlanjut dengan adanya kecendrungan nihilistik dan dekonstruksionis.

Nihilisme-dekonstruksionisme dalam disiplin ilmu tidak muncul dari landasan epistemologi Islam melainkan dari cara pandang post-modernisme.

Sebagai proyek untuk mengkritisi alam pikiran modern, filsafat post-modernisme mengembangkan pemikiran anti otoritas dan kemapanan, delegitimasi, dan desentralisasi.

Bagi kalangan ini, tidak ada yang disebut dengan realitas yang konstan. Contoh dari proyek dekonstruksionisme ini ialah adanya identitas gender di luar laki-laki dan perempuan atau yang biasa disebut dengan queer.(*)

(Disampaikan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir di UMY, 6 Mei 2023)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini