Peran Kampus
Zaki menjelaskan bahwa kampus berpengaruh besar pada kondisi psikologis korban perundungan. Beberapa peran penting kampus dalam menangani kasus ini seperti, yakni:
Pertama, kampus yang memiliki budaya inklusif, kebijakan tegas terhadap kasus-kasus bullying bisa memberikan dukungan yang diperlukan oleh korban.
“Sebaliknya, kampus yang tidak memberikan perhatian besar pada fenomena bullying, berpeluang besar memperburuk situasi karena cenderung membiarkan bullying berlangsung, dan hal ini akan semakin memperburuk psikologis korban,” ucapnya.
Kedua, kampus memberikan dukungan dan perlindungan pada korban bullying, diperlukan mekanisme pembentukan peer support dan layanan konseling untuk meminimalisir korban merasa tak berdaya dan putus asa.
Kurangnya daya dukung kampus, kata Zaki, tidak tersedianya layanan kesehatan mental di kampus, budaya kampus yang kurang positif seperti eksklusivitas atau kompetisi yang ekstrem, minimnya sanksi pada pelaku bullying menjadi faktor yang memperburuk kondisi mental korban.
Ketiga, memiliki kebijakan yang jelas terkait kasus bullying, edukasi yang cukup tentang bullying kepada semua warga kampus menjadi faktor protektif yang membuat korban merasa kampus bisa menjadi tempat yang aman untuk mencari bantuan psikologis.
Keempat, kampus perlu sigap dalam melakukan upaya-upaya preventif dengan program pencegahan bullying yang komprehensif.
“Salah satunya dengan memberikan pelatihan bagi staf dan mahasiswa tentang cara mengenali dan melaporkan bullying,” tegas dosen yang berfokus pada kajian, penelitian dan pengabdian masyarakatnya pada kesehatan mental dan ketangguhan keluarga itu.
Kelima, kampus perlu menyediakan layanan konseling dan menjangkau mahasiswa yang mungkin berisiko, membentuk peer support, membentuk satgas anti bullying untuk para korban.
Keenam, kampus dapat menyediakan jalur pelaporan yang aman, sehingga identitas korban terjaga kerahasiaannya.
Ketujuh, program peer-to-peer support juga bisa efektif mendeteksi dan menangani kasus bullying lebih awal. Dengan identifikasi lebih awal, penanganan juga dapat dilakukan sedini mungkin.
“Kampus bisa melakukan psychological first aid atau pertolongan pertama psikologis kepada korban sebagai dukungan awal,” tegas Ibu dua anak itu.
Pada dampak psikologis yang ringan, upaya ini dapat menolong korban untuk secara gradual kembali adaptif dan menurunkan dampak negatif bullying.
Namun, ujarnya, pada kasus yang lebih berat, korban dapat diberikan terapi psikologis seperti terapi kognitif-behavioral (CBT), yang dapat membantu korban untuk mengubah pola pikir negatif dan membangun kembali rasa harga diri mereka.
“Hal ini dapat meminimalisir perasaan putus asa dan kecenderungan bunuh diri. Selain itu, konseling individu atau kelompok juga dapat dilakukan untuk membangun rasa aman korban untuk menceritakan pengalaman mereka,” ujar Zaki.
Kampus dapat memberikan pelatihan tentang bullying, program mentoring, serta penguatan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mental mahasiswa.
Selain itu, perlu ada jaminan kemudahan aksesibilitas layanan konseling dan pemberian dukungan psikologis yang didukung oleh seluruh warga kampus.
“Dukungan psikologis dan konseling memiliki peran penting bagi korban bullying untuk membantu mereka mengatasi dampak negatif dari bullying, membangun kembali kepercayaan diri, dan mencegah dampak jangka panjang seperti depresi atau kecenderungan bunuh diri,” pungkasnya. (romadhona s)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News