Manusia dan makhluk lainnya akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan mereka.
Sementara ayat ini sering ditafsirkan bahwa Tuhan tidak boleh dipertanyakan, pemahaman saya adalah bahwa tindakan Tuhan selalu benar dan adil sehingga tidak menimbulkan pertanyaan.
Namun, jika ada yang berpendapat bahwa ini berarti semua orang selain pemeluk agama Islam akan masuk neraka, maka seakan-akan Tuhan menciptakan sistem yang patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan sistem yang penuh dengan pemborosan?
Dalam ayat ini, khususnya kata “Islam” tidak merujuk pada agama Islam seperti yang kita kenal saat ini.
Sebaliknya, kata ini harus dipahami dalam makna aslinya dalam bahasa Arab, yaitu “ketundukan”, yang merupakan ciri umum dari agama secara keseluruhan.
Mengapa Tuhan menyertakan ambiguitas dalam ayat ini, padahal Dia tahu bahwa orang-orang mungkin memahami kata “Islam” dalam arti yang berbeda dari makna aslinya?
Pada saat ayat ini diturunkan, agama mungkin belum disebut “Islam” sebagai nama resmi. Orang-orang mungkin mengerti bahwa “Islam” berarti “ketundukan” kepada Tuhan, tetapi itu belum menjadi nama agama.
Nama tersebut muncul kemudian, dan bahkan dalam Al-Qur`an, pengikut agama lain, seperti orang Kristen yang mengikuti Yesus, juga disebut “Muslim”.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep “Islam” sebagai ketundukan kepada Tuhan lebih luas daripada sekadar nama agama tertentu.
Tuhan mungkin sengaja menggunakan kata ini untuk menekankan pentingnya ketundukan kepada-Nya dalam agama apa pun.
Ambiguitas ini juga bisa menjadi cara untuk mendorong refleksi dan pemahaman yang lebih dalam tentang makna sejati dari “Islam”. (*)
*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News