Refleksi Jum’at Pagi: Ihsan di Dunia Politik
UM Surabaya

*)Oleh: Prof Dr Haedar Nashir

Jum’at hari ini, udara pagi menyegarkan hati.  Ketika  bersiap ke daerah naik Kereta  Api “Tut Tut Tut” kegemaran cucu kami,  terlintas  soal politik penuh ironi. Dunia politik terasa menyesakkan dada, meski sinar sang surya memancarkan asa. Kenapa  dunia politik sarat kontradiksi?

Harap tidak salah persepsi. Politik sejatinya baik. Politik ialah  sawasa al-‘amr, mengurus sesuatu dengan baik. Politik, menurut Ibn Qayyim adalah jalan “aqrabu ila shalah”, mendekatkan segala kebajikan. Sebaliknya, “ab’adu ‘an al-fasad”, menjauhkan segala kerusakan. Politik kekuasaan, menurut Al-Ghazali, melekat dengan panggilan agama.

Namun,  politik di dunia nyata memang tidak lepas dari masalah pelik berduri. Seperti urusan duniawi lainnya, sarat ironi. Ketika politik diperjuangkan dan dipertaruhkan  dengan sikap yang mutlak-mutlakan, menang-kalah, suka tidak suka, dan apologia berlebihan. Maka, politik menjadi fanatik-buta, bahkan membabi-buta. Lahirlah sikap radikal-ekstrem dalam berpolitik. Politik serba menghamba pada dirinya. Para aktor politik pun menjelma Rubah, meminjam istilah Machiavelli. Hewan buas memangsa siapa saja.

Mereka yang salah dalam berpolitik, tidak menyadari kesalahan karena dininabobokan segala pesona dunia. Harta, tahta, dan gemerlap duniawi menjadikan aktor-aktor politik lupa diri. Politik penghamba kuasa belaka. Lalu, politik menjadi sarat mafsadat dan menjauh dari maslahat. Sebagian aktor politik di dalam dan luar tembok kekuasaan sama saja. Berperangai ala Rubah. Politik lantas berbuah fitnah,  membawa prahara bagi  hidup umat manusia.

Mereka yang merasa benar dalam berpolitik, sama saja terjebak pada sikap ghuluw atau ekstrem. Semua orang dan keaadaan salah semua di matanya. Semua orang hina dina. Semua orang jatuh martabat dan marwahnya. Dia tak pernah percaya kepada lian, dirinyalah yang paling terpercaya. Vonis buruk selalu dia gunakan. Dunia dicandra serba gelap gulita, tiada cahaya. Hanya dirinya yang paling benar, bersih, dan bercahaya!.

Ihsan —kebaikan yang melintasi— yang ada di qalbu pun seolah tidak menyisakan sikap tawasuth atau jalan tengah dalam dunia politik dan kehidupan yang serba ekstrem. Dunia politik seluruhnya salah, tidak ada celah benarnya. Politik si benar mutlak benarnya dan bahkan seolah serba suci, tanpa ruang salah sebagaimana layaknya perbuatan manusia yang tidak luput dari khilaf. Politik hitam-putih berkacamata kuda.

Pandangan dan sikap hidup diri sendiri pun dimutlakkan. Diri serba benar, lian serba salah. Padahal Imam Syafii mengingatkan, “Pendapatku benar tapi mungkin juga salah. Pendapat orang lain salah tapi mungkin juga benar.”. Sikap dan pendapat tengahan seperti diajarkan Imam nan alim dan cerdas itu, seolah barang langka atau mutiara yang hilang di tengah dunia politik dan kehidupan yang serba diabsolutkan.

Kadang atau tidak jarang berstandar ganda. Kepada lawan atau pihak lain menuntut  hidup serba etika tanpa kompromi. Padahal diri sendiri tidak jarang mempraktikkan sikap nir-etika atau luruh etika. Benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas hanya berlaku sepihak tergantung parameter diri sendiri. Kata pepatah, tiba di mulut dimuntahkan, sampai diperut dikembungkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini