UM Surabaya

Lebih-lebih dengan simulakra media sosial. Dunia politik dan kehidupan menjadi sarat sumpah serapah. Hujat menghujat. Saling merendahkan martabat. Laqab yakni memberi julukan-julukan yang merendahkan pun menjadi lumrah. Gemar menebar virus curiga dan sakwasangka bahaya. Kusak-kusuk ke sana ke mari memercikkan api panas, yang membakar dada setiap orang. Lahirlah hidup sarat amarah. Bila tak dikendalikan, menjadi benih Mahabarata di Kuru Setra.

Peringatan Allah pun berlalu begitu saja, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujarat: 11).

Pada dialektika yang serba ekstrem itu, bisa dipahami kegelisahan Muhammad Abduh hingga dia bersumpah menjauhkan diri dari dunia politik yang anarkistik. “Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”, kata sang mujadid dari Mesir itu. Abduh memang mengalami benturan keras di dunia politik pada era kekuasaan Khedewi Taufiq. Pada 1882 ia diasingkan selama enam tahun ke Libanon, pasca pemberontakan Urabi.

Dunia politik memang ada menebar sisi kelam. Buya Syafii Maarif  menyatakan hal serupa Abduh di Tanwir Denpasar 2002. Politik itu memukul, dakwah merangkul. Politik memecah-belah, dakwah menyatukan. Seorang politisi senior saat itu sempat memprotes pernyataan Buya, karena menurutnya politik tidak seperti itu. Buya Syafii sangat  paham, tapi Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005 itu sengaja mengambil titik ekstrem dari dunia politik partisan.

Gegara politik, orang dan kelompok diposisikan dalam dua kutub ekstrem. Menjadi oposisi-biner. Kawan versus lawan. Siapapun yang dekat dengan lawan, dia sepenuhnya lawan. Jangankan bersekutu, hanya bertemu pun, dialah lawan. Sebaliknya, siapapun yang dekat dan bersama dirinya, semua kawan mesti tak sehaluan. Meminjam metafora penyanyi Gombloh dalam lagu populer  “Lepen” di era 1980an. Kalau cinta sudah melekat, “t… kucing, rasa coklat”.

Politik tidak identik dengan mereka yang berada di dunia-dalam kekuasaan. Mereka yang berada di dunia-luar kekuasaan pun, sering berpolitik praktis. Bertopeng perjuangan kebenaran, terlibat politik partisan. Politik pro maupun kontra kekuasaan sama saja perangainya manakala terjangkiti sikap ektrem dan mutlak-mutlakan. Terperangkap pada kebiasaan politicking, mempolitisasi segala hal. Masalah kecil diperbesar, apalagi yang besar. Masalah besar  diperingan, apa saja boleh dilakukan. Dunia politik sarat dramatisasi. Agama pun dipolitisasi!

Semoga masih banyak yang tersisa dari dunia politik. Politik sebagai jalan kebajikan sejalan pesan Ibn Qayyim dan Al-Ghazali. Sebaliknya tidak menjadi dunia kelam ala pengalaman buram Syeikh Abduh. Maka, hadirkan ihsan dalam berpolitik dan menyikapi kehidupan. Jiwa baik nan autentik yang melahirkan pandangan dan sikap tengahan dalam menjalani kehidupan. Bukan politik haus kuasa. Bukan pula politik kemarahan sarat aura dendam. Apalagi politik ekstrem berlebihan. Merasa paling benar dan digdaya sendiri di muka bumi! (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini