*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
BAYANGKAN sejenak, saat kita berjalan di bawah langit yang cerah dan merasakan hembusan angin yang menenangkan. Setiap napas yang kita ambil, setiap rezeki yang kita terima—apakah itu makanan di meja kita, cinta dari keluarga, atau pekerjaan yang kita nikmati—semua itu adalah bentuk keberkahan dari Allah Ta’ala.
Namun, apa yang terjadi ketika kita berpaling dari petunjukNya ? Dosa, seperti awan gelap yang menutupi matahari, dapat mengaburkan dan akhirnya memutus aliran berkah tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala;
“Jikalau sekiranya penduduk negeri- negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(QS. Al-A’raf: 96)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa jika penduduk negeri- negeri beriman dan bertakwa, Allah akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Maka pemahaman dari sisi mafhum mukhalafahnya adalah bahwa mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah akan dihadapkan pada kekurangan dan penderitaan sebagai akibat dari perbuatan mereka.
Saudaraku, pernahkah engkau renungkan mengapa kebahagiaan terasa begitu jauh, atau mengapa setiap usaha kita terasa begitu berat dan penuh rintangan ? Mungkin jawabannya ada dalam dosa-dosa yang masih kita anggap remeh, kita belum takut akan konsekuensinya. Dosa dan kemaksiatan yang tanpa kita sadari telah menutup pintu berkah dan memutus aliran rezeki yang seharusnya mengalir deras ke dalam hidup kita.
Ketika kita menjauh dari petunjuk agama yang hanif ini dan terjerumus dalam dosa, maka akan terasa ketidakstabilan dalam hidup kita. Stres dan kekhawatiran menggantikan kedamaian, konflik menggantikan keharmonisan, dan penyakit menggantikan kesehatan. Sadarilah bahwa inilah tanda- tanda nyata bahwa keberkahan sedang menjauh dari kita.
Namun, di balik itu semua, yakini pula dengan husnudzan yang tinggi bahwa Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kesempatan untuk kembali ke jalanNya. Dengan melakukan taubat dan memperbaiki diri, insyaallah rezeki dan keberkahan yang hilang akan dikembalikan oleh Allah Ta’ala. Kehidupan yang diberkahi bukanlah sebuah impian yang tak terjangkau, tetapi sebuah kenyataan yang bisa kita capai jika kita memilih untuk hidup sesuai dengan ketentuan syariat Islam sebagaimana petunjuk sunah yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Musibah dan Kesulitan
Setiap kali bencana alam melanda, kadang kala kita terjebak dalam pertanyaan tanpa jawaban: Mengapa ini terjadi ? Dari gempa bumi yang menghancurkan hingga badai yang menerjang, dari kekeringan yang melanda hingga banjir yang meluluhlantakkan, manusia terus berupaya mencari penjelasan melalui sains dan statistik. Namun, dalam kedalaman keheningan hati kita, ada suara yang mengingatkan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada hubungan antara tindakan kita dan tragedi yang kita hadapi.
Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syura: 30)
Allah Ta’ala dengan jelas menyatakan bahwa musibah yang menimpa kita adalah akibat dari perbuatan tangan kita sendiri, sementara Allah dengan kasih sayangNya memaafkan banyak dari kesalahan- kesalahan kita. Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa setiap langkah keliru berupa perbuatan dosa dan maksiat yang kita ambil bisa berbuah pada derita yang kita alami di dunia ini.
Bayangkan seorang petani yang bekerja keras setiap hari, menanam benih dengan harapan akan panen yang melimpah. Namun, ketika musim panen tiba, tanahnya kering dan hasil buminya hancur. Dia mungkin merenungkan apa yang telah dia lakukan untuk layak menerima penderitaan ini.
Tak ada yang kebetulan dalam sunnatullah. Berkaitan dengan fenomena ini, mungkin ada dosa tersembunyi yang menjadi penghalang bagi rezeki yang seharusnya dia terima. Bencana alam yang terjadi di sekitar kita bisa jadi adalah cerminan dari ketidakseimbangan yang kita lakukan dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta Allah Ta’ala. Musibah sering kali mengingatkan kita akan perlunya introspeksi dan taubat, agar kita bisa kembali ke jalan yang benar dan meraih kembali keberkahan yang telah hilang.
Lebih menyedihkan lagi, musibah yang diakibatkan oleh dosa tidak hanya mempengaruhi pelaku dosa itu sendiri. Kesulitan ekonomi, keruntuhan moral, dan kehancuran lingkungan yang kita saksikan saat ini adalah bukti nyata bahwa dosa-dosa individu dapat menimbulkan gelombang efek yang merusak seluruh komunitas.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.”
(QS. Al-Anfal: 25)
Ketika ketidakadilan dan kezaliman menjadi norma dalam masyarakat, dampaknya tidak dapat dihindari. Kita melihat keluarga- keluarga yang terpecah karena kemiskinan, anak- anak yang menderita kelaparan, dan alam yang merintih karena kerusakan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Demikianlah konsekuensi dosa. Maka kita semestinya menyadari bahwa setiap tindakan memiliki dampaknya sendiri, dan dengan menghindari dosa, kita dapat mencegah banyak kesulitan dan musibah yang menimpa kita. Insyaallah.
Kezaliman Penguasa dan Keterpurukan Sosial
Perbuatan dosa yang kita lakukan bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga meresap ke dalam tatanan masyarakat, dapat menimbulkan kekacauan dan ketidakadilan. Ketika dosa-dosa seperti korupsi, kecurangan, dan penipuan menjadi hal yang dianggap lumrah, maka lingkungan tempat kita tinggal pun perlahan-lahan diracuni oleh ketidakbenaran.
Akibatnya, keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap individu semakin sulit ditemukan. Penguasa yang seharusnya melindungi dan melayani rakyatnya justru menjadi tiran yang mengeksploitasi kekuasaan untuk keuntungan pribadi mereka. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat kehilangan kepercayaan dan harapan mereka terhadap para pemimpin, menciptakan lingkaran setan dari penindasan dan penderitaan yang tampaknya tak ada akhirnya.
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah mereka mengurangi timbangan dan takaran niscaya mereka akan ditimpa kelaparan yang berkepanjangan dan kezaliman para pemimpin.”
(HR. Ibnu Majah (4019), Ibnu Abi Ad-Dunya (11))
Ketika masyarakat mengurangi timbangan dan takaran, yang merupakan simbol dari perilaku tidak jujur dan curang, mereka tidak hanya merusak hubungan sosial tetapi juga mengundang bencana berupa musim kekeringan dan pemimpin yang zalim. Kezaliman penguasa ini kemudian membawa dampak luas yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial. Kekeringan tidak hanya berarti kurangnya air tetapi juga kurangnya rezeki, kemakmuran, dan keadilan.
Kita sering menyaksikan bahwa akibat dari perbuatan pemimpin yang korup dan tidak adil sering kali berakhir dengan penderitaan besar bagi rakyat jelata. Bayangkan keluarga yang hidup dalam kemiskinan ekstrem karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan mereka dialihkan untuk mengisi kantong pribadi para penguasa. Bayangkan pula ketika seorang anak yang tidak bisa bersekolah karena biaya pendidikan dialihkan untuk proyek-proyek tanpa manfaat.
Kejahatan-kejahatan kecil yang diabaikan dan diterima oleh masyarakat berkembang menjadi bencana besar, menghancurkan harapan dan impian banyak orang. Sebagai seorang mukmin, sudah menjadi kewajiban kita untuk berlaku jujur, adil, dan benar sehingga dengannya kita dapat terhindar dari bencana kezaliman penguasa dan keterpurukan sosial. Insyaallah. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News