Umat Islam Tinggalkan Kosmopolitanisme, Mengapa?
foto: immigrantinvest
UM Surabaya

Bisa dibilang, Umat Islam sekarang begitu tertutup. Padahal, pada Abad Pertengahan saat tradisi intelektual Islam begitu ranum, umat Islam bersikap kosmopolitan.

Hal ini ditandai dengan banyaknya pergaulan intelektual dengan agama dan bangsa lain.

Pada Abad Pertengahan, peradaban Islam tampil sebagai masyarakat yang terbuka dengan menyerap tradisi helenistik, Persia, Yunani, dan Romawi.

Tidak hanya menyerap, namun mereka juga melakukan kajian dengan mengkritik, mensintesakan, dan memformulasikannya kembali.

Ada tiga alasan yang bisa diidentifikasi mengapa umat Islam saat ini begitu tertutup.

Pertama, absennya tradisi pengajaran filsafat di institusi pendidikan Islam.

Absennya filsafat menyebabkan hilangnya daya kritis, membangun sintesis, dan buruk dalam melakukan reformulasi cara pandang Barat.

Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa studi Islam pada kampus-kampus Islam berorientasi praktikal, bukan filosofis-historis.

Produk keilmuan Barat dipelajari, tetapi sebatas hard science, bukan sosial humaniora.

Arab Saudi, misalnya, mengirim banyak mahasiswa ke Amerika Serikat untuk belajar teknologi, tetapi tidak belajar antropologi, apalagi religious studies atau Islamic studies.

Kedua, replika epistemik. Jika fenomena sebelumnya lahir dari sarjana Islam yang menempatkan cara pandang Barat berada di posisi yang superior dibanding tradisi.

Sebaliknya, fenomena replika epistemik ini justru lahir dari sarjana Islam yang memandang masa lalu sebagai sesuatu yang mewah dan tidak bisa digugat.

Aktivitas keilmuan hanya dalam rangka repetisi pandangan-pandangan masa lalu, bahkan abai dengan temuan dan wacana kontemporer.

Dominasi turats dalam percakapan intelektual hanya akan membawa diskursus keilmuan menjadi ajang konflik sektarian.

Hal ini terjadi karena turats tersusun sebagai respons terhadap banyaknya sekte pemikiran di dalam Islam.

Misalnya, polemik yang tak pernah kunjung usai bahkan hingga berabad-abad lamanya ialah konflik antara Asy’ariyah dan Atsariyah.

Ketiga, paranoid terhadap kemoderanan. Fenomena ini lahir dari anggapan bahwa modernitas merupakan sebuah ancaman.

Segala yang lahir dari alam pikiran modern dianggap kekuatan yang berbahaya bagi keyakinan.

Fenomena ini melahirkan umat Islam yang gagap dengan perkembangan zaman, bahkan dalam beberapa kasus berevolusi menjadi ketakutan terhadap segala yang datang dari Barat.

Paranoid ini berarti bahwa ada sebagian orang yang merasa terancam oleh dan apapun yang datang dari Barat.

Itulah mengapa umat Islam saat ini tidak lagi menjadi kelompok kosmopolitan, malah menjadi umat yang tertutup. (*)

(Disampaikan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 6 Mei 2023)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini