Pentingnya Baiat di Tengah Perubahan yang Cepat
Nurbani Yusuf
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Mungkin hanya Muhammadiyah yang masih terbuka, egaliter, dan demokratis. Di sini, orang bisa keluar masuk tanpa perlu izin khusus, karyawan amal usaha, bahkan pimpinan atau direktur bisa menjabat tanpa harus memiliki nomor anggota. Sebagian orang mungkin menganggap nomor keanggotaan di Muhammadiyah tidak begitu penting karena tidak jelas kemanfaatannya.

***

Seorang ustaz bisa berkhutbah dan memberikan tausiyah di masjid dan jamaah Muhammadiyah tanpa memiliki nomor anggota, tanpa pernah mengikuti Baitul Arqam, bahkan tanpa mengetahui tanggal berdirinya Muhammadiyah.

Seorang guru bisa dengan leluasa mengajarkan Al Islam dan Kemuhammadiyahan pada jam terakhir meskipun tidak pernah aktif atau dikenal sebagai anggota Muhammadiyah.

Calon pimpinan cabang, daerah, dan wilayah baru mengurus NBM (Nomor Baku Muhammadiyah) sebagai persyaratan dua menit sebelum penetapan calon pimpinan diumumkan.

Hanya di Muhammadiyah seseorang bisa mengelola amal usaha dengan nilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah tanpa harus memiliki nomor anggota, apalagi baiat.

Jamaah dan anggota boleh berasal dari mana pun, tetapi pimpinan dan pengelola amal usaha haruslah anggota yang sudah melakukan baiat. Inilah makna nasihat Kyai Dahlan: Jangan Menduakan Muhammadiyah!

***

Tujuan HTI adalah mendirikan khilafah. FPI ingin membentuk daulah. Salafi menginginkan negeri syariah. Begitu pula dengan Jamaah Ansharut Tauhid, Mujahidin Indonesia, hingga ISIS dan kelompok ideologi tarbiyah lainnya—dakwah mereka menempatkan politik sebagai tiang utama: tesis mereka adalah bahwa syariah Islam hanya bisa tegak dengan khilafah.

Meski berfokus pada politik, anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang mengikuti Pemilu. Bahkan Partai Pembebas atau HT hanya mandek pada kajian tentang khilafah, tidak lebih.

Muhammadiyah menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

NU memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari empat mazhab dan melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi anggotanya sesuai dengan ajaran Islam. NU kokoh dan kuat dengan ideologi Aswaja.

Dari tujuan masing-masing organisasi, sebaiknya kita memahami cara dan strategi yang digunakan, karena tujuan yang berbeda membutuhkan cara pandang, perspektif, dan paradigma yang berbeda pula tentang Islam, negara, budaya, dan lainnya.

***

Di tengah keterbukaan yang masif, Muhammadiyah perlu membentengi diri. Ribuan amal usaha dengan nilai ratusan triliun rupiah tidak cukup dikelola hanya dengan keikhlasan atau mengedepankan profesionalitas, sementara gerakan lainnya sudah memperkokoh ideologinya untuk melindungi jamaah serta aset-aset mereka.

FPI dan HTI menerapkan baiat agar tidak semua orang bisa leluasa masuk dan keluar. Salafi menggunakan sistem al-wala’ wal-bara’ agar jamaahnya tidak sembarang mengikuti pengajian dengan ustaz yang terpapar bid’ah atau syubhat. Rumpun tarbiyah menerapkan kaderisasi berjenjang sebagai filter bagi para kadernya.

***

Semua ikhtiar adalah niscaya. Tak ada salahnya Muhammadiyah mulai memikirkan pengkaderan yang sistemik, militan, dan doktriner meskipun hal tersebut tidak lazim.

Ketidakberdayaan Muhammadiyah terhadap infiltrasi Salafi dan gerakan sejenis membuktikan bahwa Muhammadiyah belum memiliki sistem imun yang kokoh untuk menjaga dan melindungi diri dari infiltrasi ideologi.

Ini adalah sebuah ikhtiar yang patut direnungi di tengah perubahan yang cepat. Wallahu ta’ala a’lam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini