Penjelasan Hukum Gratifikasi dalam Islam
foto: istock
UM Surabaya

Bagaimana hukum menerima gratifikasi atau “tips” yang bernilai besar dari seseorang yang kemudian terbukti terlibat dalam kasus suap atau kriminal?

Pertanyaan tersebut tidak hanya relevan dalam konteks hukum positif, tetapi juga dari sudut pandang syariah Islam, yang secara tegas membedakan antara harta halal dan haram.

Dalam Islam, hukum menerima pemberian atau gratifikasi yang asal-usulnya tidak diketahui secara pasti dianggap halal selama tidak ada dugaan kuat bahwa harta tersebut berasal dari sumber yang haram.

Prinsip ini berakar pada firman Allah dalam Surah al-Maidah ayat 101, yang menyarankan umat Islam untuk tidak menanyakan hal-hal yang bisa menimbulkan kesulitan jika dijawab.
Artinya, jika pemberian itu secara lahiriah tampak baik dan halal, maka diperbolehkan untuk menerimanya dan memanfaatkannya.

Namun, kondisi ini berubah ketika muncul kecurigaan bahwa pemberian tersebut mungkin berasal dari sumber yang haram, seperti hasil judi, penipuan, atau suap.

Dalam hal ini, kehati-hatian menjadi wajib. Islam menekankan pentingnya untuk meneliti asal-usul harta yang diterima.

Jika kecurigaan tidak bisa dihilangkan, maka lebih baik menolak atau mengembalikan pemberian tersebut kepada pemberi, atau dalam kasus yang lebih serius, melaporkannya kepada pihak berwenang.

Dalam kasus suap, yang kini lebih dikenal dengan istilah gratifikasi, Islam memiliki pandangan yang sangat tegas.

Gratifikasi yang diterima oleh pejabat atau orang yang memiliki otoritas bisa masuk dalam kategori suap jika ada maksud tersembunyi di balik pemberian tersebut.

Suap dalam Islam adalah harta haram yang cara mendapatkannya tidak diperbolehkan karena melibatkan penipuan, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap amanah.

Harta haram dalam Islam dibagi menjadi dua kategori utama: harta yang haram karena dzatnya, seperti khamr dan babi; dan harta yang haram karena cara mendapatkannya, seperti hasil curian, riba, atau suap.

Harta dari suap termasuk dalam kategori kedua, meskipun zatnya halal, tetapi karena cara memperolehnya tidak dibenarkan, maka harta tersebut dianggap haram.

Ketika seseorang menerima harta dari sumber yang haram tanpa mengetahui asal-usulnya, dan kemudian terbukti bahwa harta tersebut berasal dari tindakan kriminal seperti korupsi atau suap, maka hukumnya menjadi jelas: penerima wajib mengembalikan harta tersebut.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw bersabda:

“Salat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” Ini menunjukkan bahwa harta yang diperoleh dengan cara yang tidak sah tidak akan mendatangkan keberkahan, bahkan jika digunakan untuk sedekah atau amal baik sekalipun.”

Berdasarkan prinsip ini, jika diketahui bahwa harta yang diterima berasal dari sumber yang haram, seperti hasil korupsi atau suap, maka penerima memiliki kewajiban untuk menolak atau mengembalikan harta tersebut kepada pihak yang berhak, dalam hal ini, negara atau masyarakat yang dirugikan.

Uang hasil korupsi atau suap, meskipun telah berpindah tangan atau dicuci (money laundering), tetap wajib disita dan dikembalikan kepada negara.

Dengan demikian, dalam perspektif Islam, menerima harta dari sumber yang haram tidak hanya mengundang dosa, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya yang sah. Wallahu a’lam bish-shawab. (*/tim)

Referensi:

Majelis Tajih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Gratifikasi atau Suap Dalam Islam”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 9, 2014.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini