Penggunaan “mutawaffika” sebagai eufemisme untuk kematian dapat dipahami dalam konteks di mana Allah mengambil seseorang dari dunia ini.
Dalam kebanyakan kasus, tindakan Allah mengambil seseorang berarti orang tersebut telah meninggal dunia.
Namun, dalam kasus Isa, keyakinan Sunni umumnya adalah bahwa Allah menjaga Isa tetap hidup dan akan mengembalikannya ke Bumi pada suatu waktu di masa depan.
Oleh karena itu, istilah “mutawaffika” yang digunakan dalam ayat ini tidak secara otomatis berarti kematian.
Untuk lebih memahami makna sebenarnya dari ayat ini, mari kita lihat kembali redaksi aslinya dalam bahasa Arab.
Ayat tersebut berbunyi, “Idz qala Allahu ya ‘Isa inni mutawaffika wa rafi’uka ilayya.” (Ketika Allah berkata, “Wahai Isa, sungguh Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku”). Kata “mutawaffika” di sini merupakan bentuk kata kerja dari “tawaffa” yang telah disebutkan sebelumnya.
Kata kerja “tawaffa” dalam bentuk kelima ini memiliki makna yang kompleks dan telah dianalisis secara mendalam oleh Neil Robinson dalam bukunya Christ In Islam and Christianity.
Robinson meneliti berbagai penggunaan kata kerja ini dan variasinya dalam Al-Qur`an, dan menyimpulkan bahwa maknanya tidak selalu merujuk pada kematian, melainkan bisa juga berarti “mengambil secara utuh” atau “menerima pembayaran penuh”.
Dia telah meneliti berbagai contoh penggunaan kata kerja ini dan variasinya, termasuk berbagai ekstrapolasi dan bentuknya.
Secara umum, kata kerja ini bermakna mengambil sesuatu secara utuh atau menerima pembayaran atas sesuatu. Dalam konteks ini, maknanya adalah mendapatkan pembayaran penuh.
Dalam konteks agama, kita sering melihat kata ini digunakan untuk menggambarkan Tuhan memberikan pahala kepada manusia.
Misalnya, dalam ayat suci tertulis, “Tuhan akan memberikan pahala penuh kepada setiap jiwa atas apa yang telah mereka peroleh.” Ini adalah contoh lain dari bentuk kedua kata kerja tersebut.