Menghindari Bahaya Kultus Figur dalam Dakwah Islam
foto: voxpop
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun, Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)

Ayat ini diturunkan Allah sebagai pelajaran bagi kaum Muslimin setelah Perang Uhud. Dalam pertempuran ini, Nabi Muhammad saw diisukan terbunuh, yang menyebabkan sebagian Muslim kehilangan semangat dan meninggalkan medan perang sambil berkata:

“Tidak ada gunanya lagi kita berperang melawan kaum musyrikin karena Nabi SAW sudah tiada.” Namun, tidak semua kaum Muslim kehilangan semangat. Beberapa sahabat, seperti Anas bin Nadhar, tetap tegar dan mengingatkan mereka: “Apa yang akan kalian perbuat dengan kehidupan sepeninggal Nabi SAW? Bangkitlah dan mati memperjuangkan apa yang membuat Rasulullah SAW mati.” (Zadul Ma’ad, 3/198, 208).

Pelajaran dari Kisah Perang Uhud

Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran mencatat bahwa peristiwa ini mengajarkan bahwa dakwah jauh lebih besar dan lebih kekal daripada para dai. Dai datang dan pergi, sementara dakwah tetap hidup sepanjang generasi dan zaman. Para pengikut dakwah harus selalu terhubung dengan sumber pertama yang mengutus para rasul. Sebagaimana Allah yang Maha Hidup, dakwah ini harus terus berjalan meski para dai wafat. (Fi Zhilalil Quran, 2/443, Robbani Press).

Dr. Muhammad Ratib an-Nabulsi dalam tafsirnya juga menekankan bahwa dakwah harus berdasarkan ajaran tauhid, bukan pada individu. Jika dakwah berpusat pada individu dan individu tersebut mati, maka dakwah akan mati bersamanya.

Namun, jika berdasarkan tauhid, dakwah akan tetap hidup. Inilah sebabnya mengapa agama kita adalah agama tauhid dan prinsip, bukan agama individu. Sebagaimana perkataan Abu Bakar ra. saat Rasulullah saw wafat:

“Siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Dan siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak pernah mati.” (Tafsir An-Nabulsi, 2/216).

Ancaman bagi Dakwah Islam

Figuritas adalah sikap mengaitkan keberlanjutan perjuangan dakwah Islam dengan keberadaan individu atau figur tertentu, serta mengaitkan semangat perjuangan dakwah Islam dengan keberadaan individu atau figur tertentu.

Sikap ini dilarang Allah, bahkan terhadap figur Nabi SAW yang ma’shum, apalagi terhadap figur selain Nabi yang tidak ma’shum.

Semangat dakwah harus dibangun di atas nilai-nilai dakwah, bukan pada keberadaan individu atau figur tertentu, karena individu pasti akan berakhir sementara dakwah tidak boleh berhenti.

Bahaya figuritas juga terjadi pada masa Nabi Isa AS. Ketika Nabi Isa AS bertanya kepada para pengikut setianya: “Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyun (sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Ali Imran: 52).

Jawaban mereka menunjukkan bahwa mereka tidak terjebak dalam figuritas; meskipun menjadi pengikut setia Nabi Isa AS, mereka lebih memilih loyalitas kepada Allah.

Dampak Negatif Figuritas dalam Dakwah

Allah melarang sikap figuritas karena menyimpan kelemahan dan bahaya bagi dakwah, di antaranya:

Runtuhnya Semangat Perjuangan: Semangat dakwah yang dibangun atas dasar figur bisa runtuh seiring meninggalnya figur tersebut.

Hal ini tampak jelas dalam peristiwa Perang Uhud. Meskipun hal ini memberikan pelajaran tarbiyah untuk mempersiapkan sahabat ketika Nabi saw benar-benar wafat, efek figuritas masih terasa, bahkan pada sosok seperti Umar bin Khattab ra.

Kecenderungan Menutup Mata terhadap Cacat Kepribadian: Nabi SAW adalah manusia yang ma’shum, namun selain Nabi, tidak ada jaminan ma’shum. Jika muncul cacat kepribadian pada sosok yang dijadikan figur, semangat dakwah bisa runtuh. Musuh-musuh Islam sering memanfaatkan hal ini untuk meruntuhkan kekuatan Muslim dengan menyerang para tokohnya.

Wala’ Syakhshi (Loyalitas kepada Individu): Figuritas memunculkan loyalitas kepada individu, bukan kepada kebenaran, jamaah, atau sistem dan nilai, yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini semakin berbahaya jika figur tersebut mengelola penokohan untuk membangun kekuatan pribadi.

Kehilangan Nalar Sehat: Figuritas membuat para pengikut kehilangan kemampuan berpikir sehat dan membabi buta dalam membela figur. Bahkan intelektual pun dapat kehilangan nalar sehatnya jika terjebak dalam figuritas.

Semoga Allah menjaga jamaah dakwah dari penyakit figuritas ini dan menjaga agar individu-individu hebat di dalamnya tetap komitmen pada ajaran Islam dan amal jama’i, sehingga dakwah ini tetap solid dan mampu mengemban tugas-tugas dakwah dengan sebaik-baiknya. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini