*) Oleh: Prahasti Suyaman,
Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang senantiasa memunculkan kebutuhan akan fatwa terkait kebolehan atau larangan penerapannya.
Di Indonesia, fatwa-fatwa keagamaan biasanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Namun, setiap organisasi masyarakat keagamaan, termasuk Muhammadiyah, memiliki kelompok kerja sendiri yang membahas fatwa.
Dalam hal ini, Muhammadiyah memiliki lembaga fatwa yang dikenal dengan nama Majelis Tarjih.
Majelis Tarjih Muhammadiyah berperan penting dalam memberikan panduan berupa fatwa kepada warga Muhammadiyah, mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah.
Untuk menghasilkan fatwa, Majelis Tarjih menggunakan metodologi tertentu yang telah disepakati, yang telah berkembang baik sebelum maupun setelah tahun 2000. Tiga pendekatan utama dalam manhaj tarjih ini adalah bayani, burhani, dan irfani.
Apa itu Tarjih?
Kata “Tarjih” berasal dari bahasa Arab “rajjaha-yurajjihu-tarjihan,” yang berarti menguatkan. Dalam konteks ini, tarjih berarti menguatkan salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama yang diperselisihkan (ikhtilâf al-‘ulamâ) dengan berdasarkan dalil yang paling kuat.
Pendapat yang dianggap paling kuat ini kemudian dipilih untuk diamalkan, sementara pendapat lainnya yang dianggap kurang kuat (marjûh) dikesampingkan.
Mengutip A. Mukti Ali, Majelis Tarjih berhasil menciptakan kesatuan pemahaman tentang masalah-masalah furu’iyah di kalangan warga Muhammadiyah.
Namun, hal ini juga menimbulkan persepsi bahwa hanya keputusan yang telah ditarjih yang dianggap benar, sementara di luar itu belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Untuk mengatasi masalah ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan edaran bahwa keputusan tarjih tidak selalu merupakan yang paling benar dan tetap terbuka terhadap kritik dan masukan.