Menjelang tahun politik 2024, masalah pengelompokan seharusnya sudah kelar, sehingga tidak lagi ada pembelahan politik.
Konflik berlatar belakang ideologi di Ibu Pertiwi sepatutnya tidak ada lagi.
Sebab, pendahulu bangsa ini telah menyelesaikannya melalui Pancasila yang disepakati sebagai Philosophische Grondslag.
Dan Pancasila sebagai titik temu semua golongan, agama, ras, suku bangsa dan aliran politik.
Kuncinya, menerjemahkan visi Pancasila menjadi aktual dalam berbagai pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Peran-peran tersebut telah dilakukan oleh Muhammadiyah dalam aksi konkret dan nyata.
Dalam tubuh Muhammadiyah, menyatu ‘darah’ keislaman dan keindonesiaan. Yaitu, Islam yang menyatu dengan keindonesiaan, Islam yang membangun Indonesia, Islam yang memiliki Indonesia untuk kemajuan hidup bangsa dan rakyat.
Kesejarahan Muhammadiyah dengan Indonesia dapat dilihat dalam berbagai kejadian, seperti Perang Gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Besar Sudirman.
Muhammadiyah juga mendirikan Askar Perang Sabil yang langsung di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu menjadi ketua umum dan menjadi penentu kata kunci kompromi Piagam Jakarta dan Pidato 1 Juni lalu lahirlah rumusan Pancasila, di mana Ketuhanan Yang Maha, yang asalnya di sila ke-6 menjadi yang pertama ditambah Yang Maha Esa.
Berbagai fakta sejarah tersebut menjadikan jiwa kebangsaan, patriotisme, keindonesiaan hidup di Muhammadiyah.
Akan tetapi, karena karakter sedikit bicara banyak bekerja, menjadikan peran-peran vital yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut tidak atau sulit terlacak.
Kepemimpinan Strategis
Hingga sekarang, Muhammadiyah terus concern untuk mengembangkan karya keilmuan dan Iptek.
Pengembangan karya ilmu dan Iptek adalah jalan Bangsa Indonesia dalam bersaing dengan bangsa lain, di samping fondasi akhlak dan moral.
Kepemimpinan strategis adalah mereka yang senantiasa berusaha berlomba menerjemahkan, visi dan jiwa, termasuk alam pikiran nasional yang diletakkan para pendiri bangsa untuk misi strategis lima tahun ke depan.
Model kepemimpinan strategis bukan berhenti pada kepemimpinan pragmatis, kepemimpinan pragmatis memang diperlukan saat tertentu.
Tapi ada yang lebih penting lagi, arah bangsa kita ke depan. Perlu diperbanyak termasuk di kepala-kepala negara. (*)
(Disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam Launching dan Bedah Buku Karya KASAD Jenderal Dudung Abdurachman di UAD, 22 Mei 2023).