25 Tahun Reformasi: Korupsi Makin Mengakar dan Sistemik
Busyro Muqoddas
UM Surabaya

Kendati reformasi sudah berusia 25 tahun, namun Indonesia dinilai masih belum bisa lepas dari masalah korupsi.

Masalah korupsi di Indonesia hingga sekarang masih menjadi pekerjaan berat yang harus dituntaskan. Apalagi modus dan polanya semakin mengakar dan sistemik.

Karenanya, tidak heran jika kemudian upaya-upaya kritis untuk melawan korupsi, sering kali dilawan dengan cara-cara terstruktur.

Yang kerap menjadi target pembungkaman, antara lain pihak-pihak yang berfungsi sebagai watchdog, seperti kampus, hingga para aktivis.

Ada pemadaman kampus, pemadaman aktivis-aktivis dengan proyek-proyek, jabatan-jabatan, misalnya komisaris dan sebagainya.

Beberapa isu tertentu sengaja dikembangkan untuk meredam kritisisme publik terhadap masalah korupsi ini. Misalnya, isu radikalisme dan yang semisal dengan itu.

Isu radikalisme dan sebagainya itu sesungguhnya sebagai kamuflase sebagai suatu disorientasi dari persoalan-persoalan sesungguhnya yang dihadapi bangsa, yaitu korupsi yang sistemik.

Negara yang ‘Sakit’

Kondisi negara saat ini sungguh memprihatinkan. Saya menduga ada pihak yang sengaja membuat negara ini ‘sakit’ atau dilanda masalah. Makanya, perlu penyehatan negara ini karena memang dibikin sakit.

Maksud negara sakit ialah ketika terkikisnya rasa kepedulian terhadap sesama. Upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat pun terlihat semakin mengendur.

Ketika kekuasaan masyarakat sipil mulai diintervensi, kalangan dosen disibukkan dengan administrasi nyaris tidak peduli dengan urusan keadilan, mana ada forum rektor bersikap atas masalah negara? Paling hanya satu dua dosen. Kalau dulu kekuatan masyarakat konkret.

Seperti krisis kemanusian yang terjadi di Wadas, Kendeng, dan Banyuwangi. Ketiga kasus itu menjadi contoh terkikisnya semangat reformasi. Bahkan saya harus menjaminkan diri agar petani Banyuwangi tak dikriminalisasi.

Kasus kemanusiaan tadi bagian dari hilir dari aspek hulu yaitu limbah politik di pusat. Hulunya mencerminkan satu karakter politik yang tidak jelas wajahnya.

Saya perlu mengingatkan buruknya era kepemimpinan Soeharto. Ciri-ciri era Orde Baru (Orba) seolah berulang pada saat ini.

Gerakan reformasi jebol fondasi ideologi era Orba yang melahirkan corak kepemimpinan otoriter cirinya anti HAM, anti kritik, penegakkan hukum dikooptasi, penegakkan hukum jadi pembunuhan nilai hukum, sangat tidak berkeadaban.

Sekarang apakah itu ada? Sekarang apa ada situasi yang lebih mengerikan?

Atas permasalahan tersebut, saya sepakat agar muncul lagi gerakan masyarakat layaknya reformasi. Gerakan ini dapat membantu memperbaiki situasi bernegara.

Harus ada gerakan konkret bersama karena situasi tidak bisa ditoleransi lagi. (*)

(Disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam diskusi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, 22 Mei 2023)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini